Selasa, 22 Maret 2011

URGENSI KPK PERWAKILAN


UUD NRI Tahun 1945 sebagai kontrak sosial politik tertinggi menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Realitanya hukum belum tegak di negeri ini. Penyebabnya adalah operasi sabun para elit. Setiap episode menunjukkan pada publik kedigdayaan kuasa atas jabatan dan uang. Dengan kekuasaan para elit dapat membeli aparat penegak hukum. Episode Arthalyta, Anggodo dan Gayus menjadi bukti bahwa hukum tidak lagi berpihak pada keadilan tapi pada kekuasaan.
            Sebuah adagium menyatakan bahwa tanpa hukum, kekuasaan akan sewenang-wenang. Sementara itu, tanpa kekuasaan, hukum tidak akan mampu ditegakkan. Kini, hukum tidak dapat ditegakkan karena keengganan kekuasaan. Penyelenggara negara tak mampu menegakkan hukum karena terpenjara kasus inilah yang lazim disebut state capture corruptions. Akhirnya pemberantasan korupsi hanya indah didengar tapi minim implementasi. Sekedar janji yang sulit dibuktikan pemenuhannya.
            Begitu banyak kasus korupsi yang dijanjikan untuk dituntaskan. Namun sering sekali tanpa perkembangan yang berarti. Beberapa kasus diatas berada pada level nasional antara lain penetapan anggota DPR sebagai tersangka penerima travel cheque terhambat karena seorang saksi kunci, Nunun Nurbaeti masih belum ditemukan keberadaannya. Belum lagi kasus mega korupsi lain seperti BLBI, Century, Perpajakan masih belum ada perkembangan signifikan. Kasus-kasus tersebut sulit diungkap karena relasi yang amat kuat dengan penyelenggara negara, partai politik dan pengusaha. Kasus korupsi di daerah pun tak jauh berbeda dengan modus yang dilakukan pada kasus korupsi nasional.
            Berdasarkan Trend Corruptions Report Tahun 2010 oleh Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM, diketahui bahwa aktor korupsi didominasi oleh kepala daerah. Otonomi luas tidak dimaknai sebagai upaya memberikan pelayanan kepada masyarakat tetapi justru untuk memperkaya diri sendiri. Otonomi tidak disertai dengan pembinaan dan pengawasan yang maksimal dari pemerintah. Contoh kasus korupsi daerah ialah Bupati Brebes, Indra Kusuma. Indra diduga menggelembungkan dana pengadaan tanah untuk pembangunan pasar daerah seluas dua hektare. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 5 miliar. Hasil penyidikan KPK menemukan kelindan Indra dengan pengusaha sewaktu pemilukada Brebes.
            Kasus Brebes hanya merupakan satu dari ratusan kasus korupsi daerah lainnya. Pemberantasan korupsi daerah dinilai belum maksimal. Hal tersebut setidaknya disebabkan oleh tidak maksimalnya penegakkan hukum kasus korupsi di daerah oleh aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan), kekuatan anti korupsi di daerah cenderung konvensional serta lemah insiatifnya, belum optimalnya peran KPK di daerah, adanya karakteristik khas budaya politik di daerah yang cenderung menumbuhkan korupsi.  
             Pada kasus di atas, KPK mengambilalih penyidikan yang telah dilakukan oleh Kepolisian. Pertanyaannya mengapa KPK harus turun tangan jika KPK memiliki kewenangan suvervisi dan koordinasi kepada aparat penegak hukum. Jika suvervisi dan koordinasi dilakukan dengan maksimal maka tidak perlu KPK kebanjiran kasus sehingga overload. KPK hanya memiliki 153 orang penyidik, dan anggaran Rp 431 milliar. Rasanya sulit KPK dapat optimal. Terlebih suvervisi dan koordinasi tidak berjalan optimal akibat konflik di internal penegak hukum. KPK bukan dipandang mitra kerja oleh kepolisian maupun kejaksaan. KPK dipandang sebagai rival. Padahal secara jelas Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism bagi Kejaksaan dan Kepolisian.
            Selain itu, proyeksi tunggakan kasus akan semakin besar merupakan  pandangan yang amat rasional. Hal ini karena  Pengadilan Tipikor mulai hadir di beberapa daerah. Selama ini KPK merupakan mitra kerja yang amat baik bagi Pengadilan Tipikor. Namun dengan sumber daya manusia dan anggaran yang terbatas, hal tersebut sulit diimplementasikan.
            Oleh karena itu, sangat urgen mendirikan KPK perwakilan di beberapa daerah di Indonesia. KPK perwakilan rencananya akan didirikan di beberapa daerah. KPK perwakilan diharapkan mampu menjadi trigger mechanism bagi kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian, desentralisasi pemberantasan korupsi akan menjadi kenyataan. Namun ada beberapa hal yang harus dianalisis mendalam sebelum mendirikan KPK perwakilan. Pertama, format KPK perwakilan. Sebaiknya KPK perwakilan tidak diberikan kewenangan penindakan tetapi cukup pencegahan, suvervisi dan koordinasi. Usulan KPK bisa mengangkat penyidik mandiri akan sangat mendukung kinerja KPK perwakilan ke depan. Namun sampai saat ini usulan penyidik mandiri belum mendapat restu dari DPR. Kedua,  memperkuat masyarakat sipil anti korupsi di level daerah. Pengawasan masyarakat harus digiatkan agar KPK perwakilan dapat dijaga integritasnya. Masyarakat dapat memberikan data maupun kajian mengenai korupsi daerah. Dengan kerjasama yang baik antara KPK perwakilan dan masyarakat sipil KPK perwakilan dapat maksimal menjalankan kewenangannya.
            KPK perwakilan hanya menjadi wacana tanpa impementasi jika tidak ada desakan kepada pemerintah dan DPR. Rencana revisi UU KPK menjadi salah satu jalan masuk untuk memasukkan usulan KPK perwakilan. Namun harus kita baca bersama, jangan sampai desakan PK Perwakilan justru  dijadikan sasaran untuk memperkecil kewenangan  KPK. Semoga sinergi KPK perwakilan dan pengadilan tipikor di daerah menjadi solusi bagi pemberantasan korupsi daerah.

oleh 
laras susanti
peneliti pusat kajian anti korupsi FH UGM

Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar