Selasa, 22 Maret 2011

OPERA SABUN PARA ELIT


Opera sabun para elit, paling tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi negeri ini. Para elit sibuk bermain opera sabun. Sementara itu, rakyat hanya menjadi penonton setia yang tidak boleh berkomentar. Setiap episode menceritakan ulah para elit menggeruk sebanyak mungkin keuntungan dari kekuasaan yang dimiliki. Episode Gayus membuat publik miris karena kuasa atas uang membuat Gayus bahkan bisa membeli keadilan. Gayus, dapat membeli vonis, berplesiran ke bali dan luar negeri.
            Episode Gayus sangat berliku penuh dengan kontroversi. Bahkan, kini Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) menjadi sasaran. Satgas yang dikenal sebagai trigger untuk memperbaiki peradilan justru dianggap berkerjasama dengan Gayus. Hal ini ditanggapi oleh berbagai pihak, yang tentu saja sedari awal tidak menyukai keberadaan Satgas PMH. Belum usai kasus Gayus, publik justru dikejutkan dengan ucapan Presiden SBY yang menggambarkan bahwa selama tujuh tahun gaji Presiden tidak berubah. Hal tersebut disampaikan pada saat Presiden SBY memberikan pengarahan pada Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Gedung Balai Samudra Indonesia, Jakarta, Jumat (21/1/2011), mengatakan, pemerintah berkomitmen memerhatikan kesejahteraan anggota TNI dan Polri.
             Ucapan tersebut menimbulkan kontroversi. Entah disengaja atau tidak, ucapan tersebut membuat geger negeri ini. Berbagai kalangan menanggapi ucapan tersebut. Bahkan dilakukan penelusuran gaji pemimpin negara lain. Tujuannya menemukan kepatutan gaji seorang Presiden. Hasilnya gaji SBY lumayan besar. Sehingga beberapa kalangan menilai bahwa ucapan Presiden SBY tidak patut. Tanggapan berbeda justru dikeluarkan oleh Komisi III DPR RI. Komisi III melakukan gerakan pengumpulan koin untuk Presiden SBY. Hal ini dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap Presiden SBY. Bahkan ditengarai sebagai upaya untuk memperuncing situasi di Setgab. Kontroversi terus bergulir. Sekali lagi, rakyat hanya dibiarkan menjadi penonton yang tidak boleh berkomentar.
            Jika sedikit saja berkomentar, maka para elit akan dengan sangat sibuk menanggapi. Publik tentu masih ingat ketika tokoh lintas agama menyebutkan bahwa pemerintah berbohong berdasarkan ketidaktercapaian indicator keberhasilan. Pasca komentar tersebut, para elit terlihat panik. Sejumlah menteri dan anggota parpol mengeluarkan tanggapan. Tentu saja menyatakan bahwa pemerintah tidak berbohong. Setelah itu dilakukan pertemuan antara Presiden SBY dengan tokoh lintas agama. Menganalisis peristiwa di atas, secara jelas rakyat dilarang berkomentar. Jadilah penonton yang baik dengan diam tanpa komentar.
            Memilukan adalah kata yang paling tepat. Di saat rakyat belum pulih dari duka atas penegakan hukum yang kacau, para elit justru berulah. Saat rakyat menunggu aksi konkrit memberantas mafia hukum, Presiden malah menyatakan gaji nya belum juga naik. Saat rakyat terluka akibat 26 orang anggota DPR dijadikan tersangka karena menerima travel cheque pada pemilihan Gubernur BI, justru anggota DPR baru berniat membangun gedung baru. Pengumpulan koin yang dilakukan oleh para anggota DPR harusnya diiringi koreksi diri. Koreksi untuk tidak membangun gedung baru karena baik kenaikan gaji Presiden maupun gedung baru DPR, keduanya melukai hati rakyat.
            Tindakan para elit sudah sangat keterlaluan. Mereka meminta “imbalan” yang berlebihan tanpa mengoreksi kinerja yang telah dilakukan. Setahun kemarin setidaknya bisa menjadi bahan untuk evaluasi. Tahun tanpa makna merupakan kalimat yang peling tepat. Pemberantasan korupsi jalan di tempat. Beberapa kasus terungkap tapi penuntasannya tidak jelas. Penuntasan kasus century semakin tidak terdengar seiring dengan pudarnya memori publik. Korupsi Depsos diproses sangat lambat. Tidak hanya itu, reformasi birokrasi semakin nyata hanya sekedar janji. Skandal pajak dan plesiran Gayus menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di tubuh kementerian keuangan, kepolisian dan kejaksaan belum berhasil.
            Sementara itu, DPR belum menunjukkan kinerja yang optimal. Publik semakin kehilangan kepercayaan. Hal ini wajar karena fungsi legislasi DPR hanya maksimal untuk UU tentang pemekaran wilayah. Prolegnas tidak pernah kelar dibahas. Fungsi pengawasan DPR semakin tidak jelas pasca dibentuknya Setgab. Sementara itu, fungsi anggaran, DPR lebih sering menajdi cap stempel pemerintah. Tidak lain karena segala sesuatunya bisa diselesaikan di Setgab.
            Pertanyaan besarnya masih patutkah gaji Presiden dinaikkan dan gedung baru untuk DPR. Jawabannya tentu tidak. Aparatur pemerintah seharusnya menjadi pelayan publik. Tidak layak rasanya meminta upeti pada rakyat. Jika para anggota DPR masih bersikeras membangun gedung baru Rasanya rakyat Jogja bisa bertindak memberikan tanggapan atas hal tersebut dengan menyumbangkan pasir merapi. Jika presiden beroleh koin maka DPR beroleh pasir para korban merapi. Sindiran yang agaknya tepat diberikan pada mereka yang tidak juga sadar dari, oleh dan untuk siapa mereka hadir. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD. Sehingga seharusnya pemerintah hadir dari oleh dan untuk rakyat guna mencapai tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.


           
 oleh
laras susanti

peneliti PuKat Korupsi FH UGM

26 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar