Sabtu, 04 Februari 2012

harga untuk karya

krn picaso saja butuh waktu 30 tahun untuk melukis dengan indah...

KOMUNITAS HUKUM TATA NEGARA

yang paling depan ini anggota fantastic four

yang pakai jaket item adalah anggota fantastic four

sepenggal kisah komunitas di bandung



kami pun berkoalisi utk makan-makan

bersama di jakarta

pembicaraan 'anak muda' sampai larut malam mulai dari macetnya jakarta sampe 'rencana ke mars' (untuk yang ini si adib ga ikutan)

untuk mereka yang selalu berjiwa UGM meski sdh bermukim di UNDIP, heheha

bkn lg 'bu ratu' skrg menjadi anggota fantastic four (invisible women)

ini yg senyum anggota fantastic four (mr. fantastic)

makan-makan perpisahan dengan uda rito (keluarga kritis aspiratif)

Kita Adalah Media

  Pasca reformasi tahun 1998, kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dirasakan semakin demokratis. Hal tersebut ditandai dengan perubahan UUD 1945. Perubahan yang semakin menjamin perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kekuasaan. Perlindungan hak asasi manusia yang paling kentara implementasinya adalah kebebasan dalam berserikat dan berpendapat. Salah satu sarana untuk menyatakan pendapat adalah pers. Mulai medio 1999[3],pers tak perlu takut lagi diberedel. Tak hanya itu, jumlah parpol peserta pemilu pun mencapai 48. Kini, kebebasan tersebut mulai dipertanyakan. Jika dahulu pers tersandera penguasas maka kini pers diindikasikan tersandera oleh kepentingan pemilik modal.
Oligarki dan Independensi Pers
            Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia[4].
            Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Tujuan kemerdekaan pers adalah menegakkan kehidupan keadilan memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa[5]. Dalam kajian teoritis, pers setidaknya punya tiga peranan yakni mengurai ketertutupan hubungan antara negara dengan masyarakat, negara dengan koorporasi, dan koorporasi dengan masyarakat. Dengan fungsi tersebut, pers diharapkan dapat menjadi kran informasi bagi masyarakat. Kemerdekaan tersebut diimplementasikan dengan hak setiap warga negara untuk mendirikan perusahaan pers[6]. Perusahaan harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (UUD, UU Pers). Pemilikan perusahaan pers inilah yang disebut blanket norm. Norma yang belum diatur secara detail. Dampak pengaturan tersebut adalah keberadaan grup atas pemilikan sejumlah pers. Atau layak disebut sebagai oligarki pemilik modal pada pers.
            Oligarki adalah sekelompok orang yang berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya. Studi tentang oligarki tersebut kemudian banyak menghasilkan studi lain yang lebih kontemporer. Hadiz dan Robison (2004) menulis tema oligarki untuk menjelaskan fenomena ekonomi-politik di Indonesia pasca-Soeharto[7]. Teori oligarki digunakan untuk menggambarkan kekuatan-kekuatan yang menjadi lingkar inti kekuasaan di Indonesia, yang mendominasi struktur ekonomi dan struktur politik Indonesia pasca-Orde Baru. (Hadiz dan Robison, 2004). Sedangkan di Australia, oligarki terbentuk dari sebuah aliansi bisnis raksasa yang mendominasi aktivitas perekonomian Rusia[8]
            Kekuasaan tersebut dapat berupa uang, jabatan maupun keturunan. Jeffrey Winters menyebutkan Oligarki telah memenuhi bangsa ini. Oligarki di Indonesia ada sekitar 43,000-0,02%, kekayaan mereka adalah 25% dari GDP. Orang yang paling kaya di Indonesia jauh lebih kaya dibandingkan dengan negara singapura, Thailand, etc. Indonesia konsentrasi kekayaan 3x Thailand, 4x Malaysia dan 25x Singapura[9]. Oligarki tersebar di seluruh lini negeri ini. Tak terkecuali pers.
            Setidaknya ada dua hal yang dapat digunakan untuk menganalisis keberadaan oligarki pemilik modal pada pers. Pertama, jumlah grup pemilik modal. Dengan mudah kita dapat menghitung sebenarnya tak banyak jumlah pers yang berkembang pasca reformasi. Oligarki pemilik modal telah merambah pada media massa. Sebut saja stasiun televisi yang tergabung dalam grup bakrie, media Indonesia maupun trans corp. Kedua, variasi siaran yang diskenariokan. Hal ini merupakan dampak dari faktor pertama. Publik tak lagi heran jika siaran pers justru digunakan untuk mensosialisasikan kepentingan pemiliknya. Contoh konkret, stasiun TV yang tak akan pernah memberitakan tentang lumpur lapindo atau selalu memberitakan perjalanan sebuah ormas. Belum lagi stasiun TV yang senantiasa teguh memberitakan klaim keberhasilan penguasa. Tak hanya stasiun televisi, pun demikian dengan media cetak.
            Uraian tersebut menggambarkan sangat sulit untuk mengatakan bahwa pers telah independen. Secara sederhana pers dapat dinyatakan tidak diintervensinya pers dari kepentingan di luar pers. Publik boleh kecewa. Bahkan sejumlah kalangan melakukan aksi boikot kepada pers. Pers tidak lagi dipandang sebagai kawan masyarakat. Lebih tepat dikatakan sebagai kawan penguasa. Penulis meminjam istilah Alfito Deannova bahwa Cuma dua kata untuk pers diperkosa atau memerkosa. Diperkosa oleh penguasa atau pemodal atau memerkosa masyarakat. Pers tak pernah bebas dari kepentingan. Pers hadir menyuarakan kepentingan. Dukungan akan hadir jika kepentingan yang dimaksud adalah kepetingan masyarakat banyak. Realitanya, kepentingan adalah kepentingan golongan.
Independensi Masyarakat
            Harapan untuk pers yang independen semakin sulit untuk diraih. Dengan kondisi sosio politik yang mengarah pada defisit makna demokrasi. Harapan paling relevan diletakkan pada masyarakat sipil. Masyarakatlah yang harus independen dalam menerima siaran pers. Masyarakat harus kritis dan menguji setiap informasi yang didapatkan. Jika peran penting pers adalah sebagai media informasi maka kini kita lah media. Jejaring sosial di dunia menunjukkan bahwa media kini telah beralih. Manusia menjadi media yang paling cepat dan akurat ketimbang pers. Fenomena twitter dan facebook yang digunakan untuk menggerakan massa di negara-negara timur tengah. Atau komunitas kepedulian pada prita yang menggerakan Indonesia sekitar setahun lalu.
            Salah satu bagian dari elemen masyarakat adalah mahasiswa. Mahasiswa memiliki kelebihan dalam hal kemampuan intektual dan akses terhadap teknologi. Tak dapat dipungkiri bahwa perjalanan bangsa ini tak terlepas dari peran mahasiswa. Kini, dalam kondisi pers yang semakin tak berimbang, mahasiswa harus menjadi solusi. Mahasiswa harus memandang dirinya sebagai media. Arah pergerakan mahasiswa tidak lagi sekedar “membebek” pada media massa. Namun mampu melakukan mengarahkan (framming issue) isu. Sejalan dengan kebutuhan tersebut berkembang pers mahasiswa baik yang mandiri maupun berada di bawah pemerintahan mahasiswa (contoh BEM atau DEMA). Selama ini, media penyampaian informasi dilakukan dengan majalah atau bulletin. Trend zaman telah berubah media adalah kita, Majalah atau bulletin butuh waktu lama untuk dibuat dan diedarkan. Padahal kini dengan jejaring sosial, informasi dapat dipasarkan dengan mudah. Terlebih untuk basis keilmuan yang sangat jarang di blow up oleh media massa. Contoh mudah, gerakan solidaritas melon gajahmada[10] gerakan berbaju hitam setiap kamis (untuk kepedulian atas hutan Indonesia yang rusak), gerakan peduli jajanan pasar, atau gerakan sikat gigi dua kali sehari. Gerakan-gerakan tersebut dapat dipublikasikan melalui media massa. Penjelasan dapat dilakukan dengan diskusi atau seminar. Inovasi harus dilakukan. Sekali lagi karena kita adalah media maka kita yang menentukan.
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
LAMAN SITUS
Robinson, Richard dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004) sebagaimana dikutip dalam http://ibnulkhattab.blogspot.com/2011/01/rise-of-russian-oligarch.html
Fachrurodji, A. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), dalam Ibid.,

LAIN-LAIN

Jeffrey Winters dalam Diskusi Publik bertajuk “Oligarki dan Korupsi: Prespektif Ekonomi-Politik” pada tanggal 15 April 2011 kerjasama antara Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT FH UGM) dengan Fisipol UGM
Bapak Budi Setiadi, S.Si, M.Sc, PhD (dosen Fakultas Biologi UGM) dalam wawancara untuk penelitian Bioteknologi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Bioteknologi Pangan di Indonesia






[1] Terinspirasi dari diskusi tentang Media dan Kebangkitan Bangsa dengan pembicara Alfito Deannova pada temu nasional penerima beasiswa aktivis nusantara (Bakti Nusa) 2011

[2] Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, pernah aktif di kementerian Kastrat BEM KM UGM, sekarang aktif di PuKAT Korupsi FH UGM dan  Komunitas HTN

[3] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

[4] Ketentuan Umum, Pasal 1, Ibid.,

[5] Ketentuan Menimbang., Ibid.,

[6] Pasal 9, Ibid.,

[7] Robinson, Richard dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004) sebagaimana dikutip dalam http://ibnulkhattab.blogspot.com/2011/01/rise-of-russian-oligarch.html

[8] Fachrurodji, A. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), dalam Ibid.,

[9] Jeffrey Winters dalam Diskusi Publik bertajuk “Oligarki dan Korupsi: Prespektif Ekonomi-Politik” pada tanggal 15 April 2011 kerjasama antara Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT FH UGM) dengan Fisipol UGM

[10] Bapak Budi Setiadi, S.Si, M.Sc, PhD (dosen Fakultas Biologi UGM) dalam wawancara untuk penelitian Bioteknologi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Bioteknologi Pangan di Indonesia, menjelaskan soal bioteknologi melon yang garis di tubuh melon membentuk logo UGM (penulis belum mengetahui nama ilmiah melon tersebut)
oleh Laras Susanti pada 29 Mei 2011 pukul 23:27

tentang kritis aspiratif (part 1)

Allah, terima kasih telah mempertemukanku dengan mereka.
Saya bukanlah penyair, maka sangat sulit mengungkapkan keinginan hati dengan puisi
Saya bukanlah penyanyi, maka kisah kritis aspiratif tak bisa dibuat lusinan lagu
Saya hanya tukang cerita, maka saya akan bagikan cerita ini untuk semua
Allah memberikan masa-masa pahit agar kita selalu menghargai setiap masa bahagia. Kalimat ini rasanya tepat menggambarkan perjalanan hidup saya. Perjalanan hidup saya semakin berwarna ketika mengenal mereka. Saya akan bagikan satu per satu ceritanya. Bagian pertama adalah tentang perjalanan ke ibukota.
Selalu ada banyak cerita dari perjalanan ke Jakarta. Pertama, kisah di TMII. Alkisah ada tiga orang (A: pria, peserta program sarjana BEM KM), (L: perempuan, mahasiswi fakultas yang harus banyak ngaji), (R: pemuda yang lahir di bukit-bukit di sumatera). Ketiganya akan mengikuti perhelatan paling dasyat sejagad dunia aktivis (semacam muktamar Muhammadiyah). Saya diantar seorang teman saya sampai di stasiun para orang “elit”. Setelah membeli tiga tiket saya menunggu di gerbong. Tak lama seorang kawan yang tak terduga datang.
L          : lho kok mas ada disini?
A          : iya, saya diminta R dengan rayuan sms
L          : saya kira A kecil, ternyata mas, hohohoho
Tak lama kemudian datanglah Mr. R, akhirnya perjalanan dimulai. Di depan kursi kami, ada keluarga kecil (suami, istri, seorang putri mereka). Perjalanan diisi dengan ngbrol tanpa henti dengan ditemani lanting berbagai rasa (efek ngunyah tanpa rasa kenyang, lumayan buat mahasiswa yang kantongnya tipis).
L          : apa aja dijual di ketera
A          : baterai hp ada, pulsa ada, besok ada yang jual tivi di kereta
L          : berarti kalau ada orang dating dari kampong ke Jakarta bisa langsung beli perabot rumah tangga hahahahha…
Kemudian datanglah seorang pengusaha mikro.
P          : kopinya mas, minum tho mas. Ngobrol terus
A          : nggak mas
P          : ora nduwe duit, ngutang bae mas, nyicil ya kena (*ngapak mode on)
L          : iya mas, kie ora ditkukena karo mas se
P          : mas e ganteng2 pelit yak.
A,L,R    : hahahahahhahahahahaha (*biar gitu tetep aja kita gak beli, bukan karena ngerasa ganteng tapi gak punya duit, ampun2 mas A dan R)
Setelah memasuki jakarta,
L          : kita turun di jatinegara ya
R          : bukan di senen
L          : tapi kalau mau ke TMII kita lebih deket lewat jatinegara (*naluri anak jakarte)
Kita tetep turun di senen karena R adalah pim ro (pimpinan rombongan),,hehehe..akhirnya sampai di stasiun senen dan karena lapar, kami makan soto ayam dengan lahap. Perjalanan dilanjutkan dengan naik bus trans jakarta yang ternyata melewati stasiun jatinegara (*tapi emang bener sih, jauh antara stasiun jatinegara dengan terminal bus trans Jakarta). Kemudian dilanjutkan dengan angkot,
L          : mas, kita turun di depan sini
R          : bukan, nanti.
Akhirnya kami turun di pintu III, bukan pintu utama, Berjalan masuk dan bertanya pada seorang petugas.
P          : mau kemana? Oh itu mau munas?
A,R,L    : iya (*mantap gitu deh)
P          : (*mengarahkan ke sebuah gedung tapi kok beda dengan arahan mas kanjeng presma, tapi kita tetep berjalan). Akhirnya kami sampai sebuah gedung yang petugas maksud. Ternyata eh ternyata….itu MUNAS PANDETA-PANDETA sebuah agama. Ha??? R: saya pake baju koko gini kok diarahin kesini, lebih aneh lagi L yang pake jilbab. Hahahahaha
Ternyata salah tempat, setelah jalan naik-turun dirasakan soto yang tadi dimakan sudah hilang, laper lagi. Akhirnya gedung pertemuan ditemukan mas kanjeng presma menunggu sambil cengar-cengir. Lha salah sendiri kenapa nyasar..hahahhaha..
Ditunggu cerita selanjutnya ya..

Hujan Remisi di Negeri Koruptor

Koruptor selalu punya cara dan alat untuk menghindari penegakan hukum dari hulu hingga hilir.
Kasus Nazaruddin adalah salah satu contoh menarik tentang berbagai cara untuk menghindari proses penegakan hukum. Mereka terus berupaya mengakali hukum dari saat penangkapan, pengadilan, hingga saat menjalani hukuman.
Salah satu cara mengakali masa hukuman adalah remisi. Ingar-bingar pemberitaan di wilayah penegakan hukum di hulu membuat kita sering lupa dengan yang di hilir.
Kita lupa bahwa pemberantasan korupsi bukan sekadar menangkap para tersangka dan menghukumnya. Ada esensi terpenting dalam proses hukum ini, yaitu membuat yang menjalani hukuman menjadi jera.
Kenyataannya, efek penjeraan memang terlupakan. Selama para koruptor dipenjara, upaya pembinaannya minimal dan yang terjadi malah ”hujan” remisi.
Tahun ini, pada Hari Kemerdekaan, sebanyak 427 narapidana korupsi mendapat remisi (Kompas, 17/8/2011). Sebanyak 19 orang di antaranya langsung bebas karena masa hukuman mereka berakhir.
Dari ratusan narapidana, beberapa koruptor kelas kakap—baik level nasional maupun daerah—mendapat remisi. Di level nasional ada mantan jaksa Urip Tri Gunawan. Di level daerah, bekas Bupati Kutai H Tengku Azmun Jaafar dan bekas Wakil Wali Kota Bogor Mochamad Sahid menerima remisi masing-masing dua bulan dua puluh hari dan tiga bulan.
Revisi remisi
Korupsi adalah extraordinary crime sehingga pemberantasannya pun harus lebih dari biasanya. Pemberantasan yang tentunya disertai dengan penghukuman yang menjerakan.
Secara yuridis, pemberian remisi kepada koruptor diperbolehkan dengan ketentuan khusus dalam PP Nomor 28 Tahun 2006. Seorang narapidana kasus korupsi mendapat remisi apabila berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana. Namun, dalam realitas, pemberian remisi kepada koruptor sarat penyimpangan.
Salah satunya, adalah remisi untuk mantan jaksa Urip Tri Gunawan. Urip ditahan sejak Maret 2008. Pada tahun yang sama, Urip divonis 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Tahun 2011, kasasi Urip ditolak. Artinya, Urip harus menjalani masa pidana selama 20 tahun terhitung sejak masa penahanan, yakni tahun 2008.
Mengacu pada Pasal 34 Ayat (3) PP No 26/2008, Urip boleh menerima remisi apabila telah menjalani enam tahun, yakni sepertiga masa pidana. Ketentuan itu berlaku karena Urip adalah narapidana kasus korupsi.
Pemerintah justru seenaknya melanggar ketentuan tersebut. Pemerintah memberi Urip remisi khusus Hari Natal—dengan ketentuan maksimal remisi satu bulan—pada Desember 2010. Selanjutnya, Agustus 2011, Urip mendapatkan remisi umum (Hari Kemerdekaan) sebesar empat bulan.
Secara hukum, Urip baru menjalani tiga tahun masa pidana dan, karena itu, haram mendapat remisi. Artinya, pemerintah—dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM—telah melanggar UU dan PP yang berlaku. Urip seharusnya diperlakukan layaknya narapidana biasa yang bisa mendapat remisi setelah enam bulan masa pidana, padahal ia adalah narapidana kasus korupsi.
Simulasi kasus
Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM telah mencoba simulasi sederhana pada kasus kekeliruan pemberian remisi Urip. Simulasi dilakukan untuk memprediksi berakhirnya masa pidana Urip.
Besaran remisi mengacu pada Keppres Nomor 174 Tahun 1999. Dengan asumsi setiap tahun Urip mendapatkan remisi khusus dan remisi umum, Urip pada Mei 2017 sudah dapat menikmati pembebasan bersyarat. Sepertiga masa hukuman dapat dilalui di luar penjara dengan kewajiban lapor sampai Januari 2020.
Jika Urip mendapatkan remisi tambahan (berbuat jasa dan manfaat untuk bangsa) selain remisi khusus dan umum, pembebasan bersyarat Urip dapat terlaksana pada April 2016. Artinya, pada Desember 2020 wajib lapor Urip berakhir. Perhitungan di atas menunjukkan, dengan remisi, Urip hanya perlu menjalani sembilan tahun masa pidana. Remisi membuat Urip bisa menghemat 11 tahun masa pidana.
Padahal, vonis Urip adalah tonggak membanggakan dalam sejarah pemberantasan korupsi. Pada era KPK dan Pengadilan Tipikor, hanya Urip yang dijatuhi hukuman maksimal 20 tahun.
Bayangkan jika ada narapidana kasus korupsi yang divonis empat tahun pidana? Kita tentu tak pernah lupa tentang kisah masa pidana supercepat Aulia Pohan atau Artalyta Suryani (Ayin). Hal yang hanya bisa terjadi karena derasnya hujan remisi yang mereka nikmati meski mereka adalah tahanan korupsi.
Maka, setidaknya ada dua hal yang dapat ditangkap. Pertama, terlalu banyak jenis dan besar remisi yang dapat diterima koruptor: remisi umum, remisi khusus, dan remisi tambahan dengan besaran antara 15 hari sampai 6 bulan. Perhitungan masa pidana Urip menunjukkan penghematan masa pidana bisa sampai separuh vonis.
Kedua, pelaksanaan menyimpang aturan. Narapidana kasus korupsi disamakan dengan narapidana biasa. Belum lagi bicara soal subyektivitas persyaratan seperti kelakuan baik, jasa, dan manfaat pada negara.
Kebijakan koruptif
Pemberantasan korupsi harus bebas dari praktik menyimpang pemberian remisi. Kita telah bersepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka harus ada upaya luar biasa.
Perubahan aturan mengenai remisi harus dilakukan. Jihad aparat penegak hukum juga harus diimbangi dengan memperkecil remisi untuk koruptor. Jangan samakan besaran remisi narapidana kasus korupsi dengan narapidana biasa.
Penyimpangan yang telah terjadi harus ditindak tegas. Pejabat pemberi remisi yang menyimpang pun harus mendapat sanksi. Presiden SBY harus berani menindak tegas. Sudah tampak terang benderang bahwa itu adalah kebijakan yang koruptif. Tak terkecuali Menteri Hukum dan HAM yang menyetujui pemberian remisi.
Jika Presiden tak mampu bertindak tegas, kita kembali kecewa sembari mengingat-ingat janjinya memimpin langsung pemberantasan korupsi.
Laras Susanti Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM

dimuat di Opini Harian Kompas, Sabtu, 03/09/2011

Para Pencari Ilmu (Part-3)

Sudah tiga belas hari, penulis sedang mengikuti pembelajaran bersama masyarakat di sebuah desa di kabupaten bantul. Sebuah wilayah yang sedang beralih dari desa menuju kota. Mayoritas penduduknya adalah pengrajin batu bata. Akibatnya lahan menjadi kritis. Pasir bertebaran dimana-mana. Tanah tidak lagi bisa digunakan secara optimal untuk bertani. Selain sebagai pekerja batu bata, kebanyakan mereka adalah buruh tani, dan pekerjaan serabutan lainnya.
Khusus untuk seri tulisan ini, penulis akan fokus pada proses penulis belajar memahami bahwa bukan hal mudah untuk menerapkan nilai-nilai kecintaan lingkungan pada matapencaharian masyarakat. Oleh karena, pembuatan batu bata merusak lingkungan, maka pemerintah memberikan program-program bertujuan pertanian terpadu pada masyarakat. Salah satunya adalah ternak KUBE. Sejumlah warga yang tergolong miskin menerima.Ternak tersebut merupakan ternak gaduhan, sehingga diharapkan penerima bisa terus menginvestasikan modal bibit ternak dari pemerintah.

Namun, bukan Indonesia kalau das sollen dan das sein nya selaras. Realitanya, bibit ternak yang diberikan ke masyarakat adalah ternak yang sakit, setelah dua minggu, mereka lumpuh. Ketika, dipotong diketahui ternak-ternak tersebut lebih banyak makan plastik (ciri ternak liar). Ini bisa dikatakan sebagai bentuk penyelewenangan oleh Dinas terkait.

Sejumlah penerima akhirnya menjualnya. Ada yang menjualnya dan berganti dengan ternak itik, ada yang menukar tambah dengan produk lokal yang jauh lebih sehat, ada pula yang menjual habis karena memiliki kebutuhan mendesak.
Sampai pada suatu ketika, penulis mengikuti pertemuan ternak, seorang janda penerima ternak mengaku telah menjual semua ternaknya dan kini ia tidak punya modal. Ia memohon agar teman2 kelompoknya memberikannya uang untuk modal. Dengan segala keterbatasan, teman2 kelompok memberi ibu tersebut seratus ribu rupiah. Setiap bulan mereka berkumpul, dengan fokus yang semakin jauh dari keinginan menjadi peternak. Mereka fokus untuk melakukan simpan pinjam. Tak lupa, seraya mengeluarkan sindiran-sindiran pada "penguasa" atas nasib apes mereka.