Selasa, 22 Maret 2011

KE (TIDAK) ARIFAN LOKAL



            Kini, perlahan dan pasti, tahun 2011 berjalan. Korupsi masih saja menjadi perhatian serius di negeri ini. Berbagai upaya dilakukan seperti membentuk Inpres dan Satgas Mafia Hukum. Hasilnya tidak dapat dikatakan baik. Kasus korupsi bak opera sabun yang sangat panjang. Opera sabun yang cerita dan pemainnya “itu-itu” saja. Opera sabun dengan episode korupsi dana rekonstruksi bencana contohnya.
            Bencana alam hampir menjadi berita sehari-hari di negeri ini. Entah tanah longsor, banjir, gunung meletus dan banyak lainnya. Bencana alam yang seharusnya menjadi peringatan agar lebih arif pada lingkungan justru menjadi lading emas bagi para pengemplang dana rekonstruksi bencana. Publik tentu tak pernah lupa pada gempa Bantul empat tahun lalu. Gempa tersebut meninggalkan begitu banyak cerita duka. Korban jiwa dan harta diderita oleh ribuan warga Bantul.
            Pepatah sudah jatuh tertimpa tangga kiranya layak untuk disematkan untuk warga Bantul. Setelah menderita karena bencana, mereka kembali dirugikan oleh pemotongan dana rekonstruksi yang dilakukan oleh Pamong Desa dengan tujuan kearifan lokal. Sampai pertengahan tahun 2010, setidaknya ada 3 tiga lurah di Bantul yang menjadi tersangka dugaan kasus korupsi dana rekonstruksi dengan motif kearifan lokal. Kearifan lokal yang dimaksud adalah upaya mempercepat pembangunan dusun dengan menggunakan sebagian dana rekonstruksi yang menjadi hak korban gempa. Sebagai contoh dijanjikan akan digunakan untuk membangun rumah ibadah, gapura desa, dan fasilitas umum lainnya.
            Namun kearifan lokal yang dimaksud justru terbukti berbeda di PN Bantul. M Sukro Nurharjono, Ketua Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (Apdesi) DIY yang juga lurah Desa Selopamioro Imogiri, Bantul, divonis satu tahun empat bulan penjara oleh majelis hakim PN Bantul. Sukro dan tiga terdakwa lainnya dinyatakan bersalah karena terbukti melakukan tindak pindana korupsi (Tipikor) secara berkelanjutan. Terdakwa melanggar pasal 3 UU Nomor 31/1999, junto UU No. 20/2001 tentang tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sekitar Rp865 juta dengan cara memotong dana rekonstruksi gempa Bantul. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal justru terbukti memenuhi unsur-unsur korupsi. Alih-alih kearifan lokal justru yang terjadi ke(tidak)arifan lokal.
            Sungguh merupakan hal yang keji membuat para korban bencana semakin menderita. Apalagi dilakukan secara sistematis oleh aparat. Kasus korupsi di atas, kini masih terus bergulir dan Mantan Bupati Bantul, Idham Samawi, ditengarai juga terlibat. Para lurah yang terseret dugaan kasus korupsi menyatakan bahwa pemotongan dana rekonstruksi sudah mendapat dukungan dari segenap elemen daerah. Dalam logika birokrasi, hal ini sangat rasional. Keputusan yang diambil para lurah berasal dari instruksi ataupun dengan persetujuan Bupati.
            Belum tuntas kasus Bantul, Yogyakarta kembali berduka. November tahun 2010 menjadi bulan tanggap darurat Bencana Merapi. Gunung merapi meletus dan mengeluarkan awan panas dan abu vulkanik yang membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Pasca bencana, pemerintah bersiap mengalokasikan anggaran sebesar Rp400 miliar untuk pemulihan kesejahteraan masyarakat sekitar Merapi. Demikian disampaikan oleh Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Sesmenko Kesra) Indroyono Susilo.
Mencegah dan Memadamkan 
            Mari mencegah adanya korupsi dengan tidak menghalalkan “kearifan lokal” digunakan sebagai tameng untuk “menyunat” dana rekonstruksi Merapi. Bantul membuat kita semua belajar Ke (tidak) arifan lokal terjadi karena kita memberikan kesempatan untuk menyunat dan menyelewengkan dana rekonstruksi. Kalau soal pembangunan fasilitas umum itu menjadi kewajiban pemerintah. Jangan biarkan ke(tidak)arifan lokal justru memperkaya seseorang atau golongan. Upaya memadamkan (baca:mengusut tuntas) korupsi harus terus dilakukan untuk dugaan korupsi dana rekonstruksi Bantul. Tapi, tentu kita tidak boleh lupa untuk mencegah hal yang sama terjadi pada korban bencana Merapi.
            Pertama, masyarakat perlu mewaspadai segala bentuk modus operandi yang dilakukan oleh pamong desa untuk melakukan pemotongan terhadap dana rekonstruksi. Ke(tidak)arifan lokal di Bantul, sulit untuk diusut karena masyarakat percaya pada “tipuan” yang dilakukan oleh para pamong desa. Pamong desa merasa nyaman untuk memotong dana karena masyarakat menyetujui termasuk tidak diberikannya bukti serah terima dana. Masyarakat selama ini juga merasa enggan melaporkan karena merasa segan pada pamong desa. Jika dicermati, ini mirip budaya feodal zaman dahulu bahwa pamong berhak memperoleh upeti. Sejatinya, pamong adalah pelayan masyarakat yang mengabdi bukan untuk beroleh upeti. Kedua, melakukan pengawasan terhadap jalannya pencairan dana. Disini peran civil society sangat penting. Ketiga, mendesak aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan-laporan masyarakat berkaitan dengan dugaan korupsi dana rekonstruksi. Terakhir, untuk para calon pengempang dana rekonstruksi, ingatlah, UU 31/1999 junto UU 20/2001 menyatakan bahwa korupsi yang dilakukan pada saat bencana diancam dengan pidana mati. Ke(tidak)arifan lokal tidak akan terjadi jika ada dukungan dari semua pihak. Dengan demikian tidak akan pernah ada episode korupsi dana rekonstruksi di daerah lain.Semoga.
           


 Laras Susanti
dimuat pada harian jogja 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar