Sabtu, 23 April 2011

Menghargai Potensi dan Kesempatan


Selama perjalanan hidup kita, kita tentu sudah tidak asing dengan pekerjaan memilih. Memilih banyak hal. Mulai dari memilih warna sepatu sampai memilih pekerjaan. Sangatlah menyenangkan bagi setiap kita yang punya kesempatan untuk memilih. Apalagi memilih hal yang sama baiknya. Namun, ternyata memilih bukanlah pekerjaan yang mudah. Menjadi tak mudah karena setiap pilihan mengandung resiko.
            Tulisan ini penulis buat guna menghargai pengalaman-pengalaman yang pernah penulis rasakan pada saat menjadi mahasiswa. Ini merupakan tulisan lanjutan dari tulisan menikmati identitas-penulis tulis beberapa bulan lalu.  Pada awal memasuki masa perkuliahan penulis merasa sangat tertarik untuk dapat bermanfaat bagi orang lain. Akhirnya organisasi mahasiswa penulis pilih untuk dapat berkontribusi. Tidak hanya satu bahkan lebih dari dua organisasi mahasiswa penulis ikuti. Banyak hal baru yang ditemui. Banyak ilmu yang didapatkan. Banyak kesempatan untuk bermanfaat. Setelah tiga tahun berada pada organisasi mahasiswa penulis merasakan kegalauan yang amat sangat. Kepala penulis penuh dengan impian-impian yang harus segera diwujudkan. Penulis tergesa-gesa ingin menyelesaikan. Entah ini jamak dialami oleh para mahasiswa lainnya atau tidak. Tapi itulah yang penulis rasakan.
            Kegalauan soal masa depan memenuhi kepala. Hingga akhirnya merasuk. Bahkan untuk beberapa kesempatan amanah yang seharusnya bisa maksimal malah terbengkalai. Penulis kehilangan banyak waktu oleh karena memikirkan ketakutan-ketakutan tersebut. Kini, saat penulis sedang menempuh semester delapan, penulis ingin agar tulisan ini bermanfaat untuk orang lain. Banyak dari kita tak bersabar, tergesa-gesa, merasa sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan untuk masyarakat sewaktu kita di organisasi mahasiswa. Saat sedang masa belajar berjalan kita ingin cepat berlari. Saat sedang masa menimba ilmu kita tergesa-gesa ingin meraih hasil. Kawan, mari kita semua menikmatilah segala sesuatu yang sedang kita lakukan. Bersabarlah untuk menjalani setiap proses. Bersabarlah untuk terus belajar. Agar setiap usaha yang kita lakukan adalah upaya untuk menghargai potensi dan kesempatan yang Allah berikan.







Yogyakarta,24 April 2011


SENJA KALA PENDIDIKAN TINGGI

Hiruk-pikuk polah para elit telah mengalihkan perhatian sebagian besar rakyat. Mulai dari pembangunan gedung baru DPR sampai kisah tertangkap kameranya seorang anggota dewan ketika sedang menonton video porno. Kita semua akhirnya lupa pada pelaksanaan fungsi anggota dewan seharusnya. Salah satu fu...ngsi DPR adalah legislasi. Fungsi legislasi DPR masih dinilai buruk. Hal ini bukan tanpa alasan. Tidak sampai separuh prolegnas dilaksanakan oleh DPR. Tidak hanya itu, begitu banyak undang-undang yang dihasilkan pun begitu banyak yang dipandang bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara.
Salah satu undang-undang yang amat kontroversial adalah Undang-Undang Nomor  9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Undang-Undang tersebut terbukti bertentangan dengan UUD lewat Putusan MK nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 dengan alasan telah menyebabkan terjadinya penyeragaman. Namun, sepertinya para pembentuk undang-undang tidak pernah lelah untuk senantiasa memasukkan nilai-nilai penyeragaman pada undang-undang lainnya. Pada Senin, 04 April 2011 Rapat Pleno Badan Legislatif (Baleg) DPR RI menghasilkan persetujuan terhadap Draft RUU Pendidikan Tinggi. RUU Pendidikan yang telah melalui pembahasan memiliki banyak kecacatan.
Pembahasan berikut ini akan membahas kecacatan tersebut. Pertama, ketidakjelasan antara tujuan dibentuknya UU Pendidikan Tinggi dengan ketentuan menimbang. Ketentuan menimbang menjadi ruh dalam sebuah undang-undang. Ketentuan menimbang RUU Pendidikan Tinggi menyebutkan

a.    bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia;
b.    bahwa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia;
c.    bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi dalam segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri, kritis, inovatif, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional;

    Ketentuan di atas tidak menunjukkan adanya korelasi antara tujuan menciptakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dengan keinginan pengaturan. Bentuk keinginan pengaturan sama sekali tidak dicantumkan dalam ketentuan menimbang . Tidak jelas bentuk mengatur perguruan tinggi dengan apa yang dimaksudkan dalam RUU tersebut. Apakah akan diatur desain, status, atau manajerial guna mencapai tujuan di atas.
    Dalam ketentuan menimbang justru dimasukkan point c yakni berkaitan dengan perkembangan globalisasi. Agenda besar untuk menjadikan pendidikan sebagai jasa yang dapat diperdagangkan masih menjadi niatan dari pembentuk undang-undang. Hal ini bertentangan dengan semangat menjadikan pendidikan sebagai public goods sebagaimana tercantum dalam Putusan MK nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 tentang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pendidikan sebagai public goods menjadi amanat konstitusi untuk diselenggarakan oleh pemerintah.
    Kedua, prinsip otonomi tidak jelas.  RUU Pendidikan Tinggi  tidak menyebutkan secara terang yang mana yang merupakan otonomi kampus. Pendidikan Tinggi berasaskan: kebenaran ilmiah; otonomi keilmuan; kebebasan akademik; kejujuran; dan keadilan. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa yang otonom adalah keilmuan, tapi dalam Pasal 33 RUU tersebut, makna otonomi justru diperluas. Otonomi adalah kewenangan perguruan tinggi mengelola sendiri. Hal ini membuktikan terdapat penafsiran yang ekstensif terhadap makna otonomi. Sama sekali tidak dijelaskan mengenai otonomi lainnya seperti otonomi keuangan, sumber daya manusia, administrasi, dll .
    Hal yang justru mengherankan adalah diaturnya esensi otonomi keuangan dalam ketentuan pengelolaan keuangan. Berikut ini adalah analisis terhadap Pasal 23 RUU tersebut. Dalam ayat (1) disebutkan bahwa Sumber dana untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi:
Pemerintah; dan masyarakat.
        Ketentuan tersebut merupakan blanket norm (norma terbuka yang sangat mungkin diterjemahkan secara ekstensif oleh pemerintah dalam PP). Disebutkan bahwa masyarakat terlibat dalam penyelenggaraan yakani menjadi sumber dana. Sumber dana melalui masyarakat harus dijelaskan hal apasajakan yang dapat diambil dari masyarakat. Pertanyaannya selanjutnya berapakah proporsi antara kewajiban pemerintah mensuplai dana dengan ke”ikutsertaan masyarakat”.
        Lebih lanjut, harus dipahami bahwa setiap penyelenggara pendidikan tinggi memiliki  kapasitas yang berbeda. Peluang untuk berkompetisi antar penyelenggara pendidikan tinggi sangat ketat. Lantas bagi penyelenggara pendidikan tinggi yang belum mampu untuk menutupi biaya operasioal dengan kemampuan meciptakan peluang usaha dan berinvestasi (penggalangan dana abadi; penggalangan dana beasiswa; dan penggalangan dana penelitian bekerjasama dengan industri) sama sekali tidak diberikan perlakuan berbeda. Dengan tidak adanya kepastian dana dari pemerintah, peluang paling mungkin adalah mengambil dana dari peserta didik atau dengan memanfaatkan asset pernyelenggara pendidikan tinggi tersebut (khusus untuk PT BHMN). Cara lain yang digunakan adalah menciptakan pungutan, memperbanyak mahasiswa yang masuk lewat  jalur masuk yang diperbanyak. Hal ini justru bertentang dengan harapan menciptakan kualitas pendidikan yang baik.
    Ketiga, ketidakjelasan status perguruan tinggi. Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa  status perguruan tinggi terdiri atas Perguruan Tinggi berbadan hukum; Perguruan Tinggi mandiri; dan PTN dan PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian Lain, dan/atau LPNK.  Sementara itu, untuk pola pengelolaan dana secara mandiri untuk PTN berbadan hukum dan PTN mandiri; Pola pengelolaan dana secara mandiri berdasarkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum untuk PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang khusus untuk Perguruan Tinggi; dan pola pengelolaan dana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang keuangan negara untuk PTN atau PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian lain, dan/atau LPNK. Ketentuan lebih lanjut mengenai pola pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah . Melihat ketentuan diatas, sangat kentara untuk membuka peluang terhadap dibentuknya Badan Hukum Pendidikan.
        Keempat, Ketidakjelasan pengaturan mengenai hak masyarakat miskin dan tidak memiliki prestasi akademik baik. Menurut Darmaningtyas, pakar pendidikan, bahwa di Indonesia terdapat diskriminasi terhadap masyarakat miskin dengan prestasi akademik yang kurang baik. Hal tersebut tercermin dalam  Pasal 96 RUU tersebut yang menyatakan bahwa PTN wajib menerima calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa baru. Hanya masyarakat miskin dan memiliki potensi akademik baik yang difasilitasi.

    Akankah kembali ada terang?
        Kita tentu tidak pernah berharap senja senantiasa hadir. Terang menjadi harapan kita semua. Pendidikan Tinggi menjadi tanggung jawab kita semua. Kajian menyeluruh harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat termasuk mahasiswa. Peluang pemebentukan UU Pendidikan tinggi harusnya dipandang sebagai potensi untuk memberikan gagasan. Pengawasan juga harus dilakukan terhadap kinerja pembentuk undang-undang. Rakyat harus berdaulat karena sudah terlalu lama petinggi negara ini meninggalkan rakyatnya.