Sabtu, 23 April 2011

Menghargai Potensi dan Kesempatan


Selama perjalanan hidup kita, kita tentu sudah tidak asing dengan pekerjaan memilih. Memilih banyak hal. Mulai dari memilih warna sepatu sampai memilih pekerjaan. Sangatlah menyenangkan bagi setiap kita yang punya kesempatan untuk memilih. Apalagi memilih hal yang sama baiknya. Namun, ternyata memilih bukanlah pekerjaan yang mudah. Menjadi tak mudah karena setiap pilihan mengandung resiko.
            Tulisan ini penulis buat guna menghargai pengalaman-pengalaman yang pernah penulis rasakan pada saat menjadi mahasiswa. Ini merupakan tulisan lanjutan dari tulisan menikmati identitas-penulis tulis beberapa bulan lalu.  Pada awal memasuki masa perkuliahan penulis merasa sangat tertarik untuk dapat bermanfaat bagi orang lain. Akhirnya organisasi mahasiswa penulis pilih untuk dapat berkontribusi. Tidak hanya satu bahkan lebih dari dua organisasi mahasiswa penulis ikuti. Banyak hal baru yang ditemui. Banyak ilmu yang didapatkan. Banyak kesempatan untuk bermanfaat. Setelah tiga tahun berada pada organisasi mahasiswa penulis merasakan kegalauan yang amat sangat. Kepala penulis penuh dengan impian-impian yang harus segera diwujudkan. Penulis tergesa-gesa ingin menyelesaikan. Entah ini jamak dialami oleh para mahasiswa lainnya atau tidak. Tapi itulah yang penulis rasakan.
            Kegalauan soal masa depan memenuhi kepala. Hingga akhirnya merasuk. Bahkan untuk beberapa kesempatan amanah yang seharusnya bisa maksimal malah terbengkalai. Penulis kehilangan banyak waktu oleh karena memikirkan ketakutan-ketakutan tersebut. Kini, saat penulis sedang menempuh semester delapan, penulis ingin agar tulisan ini bermanfaat untuk orang lain. Banyak dari kita tak bersabar, tergesa-gesa, merasa sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan untuk masyarakat sewaktu kita di organisasi mahasiswa. Saat sedang masa belajar berjalan kita ingin cepat berlari. Saat sedang masa menimba ilmu kita tergesa-gesa ingin meraih hasil. Kawan, mari kita semua menikmatilah segala sesuatu yang sedang kita lakukan. Bersabarlah untuk menjalani setiap proses. Bersabarlah untuk terus belajar. Agar setiap usaha yang kita lakukan adalah upaya untuk menghargai potensi dan kesempatan yang Allah berikan.







Yogyakarta,24 April 2011


SENJA KALA PENDIDIKAN TINGGI

Hiruk-pikuk polah para elit telah mengalihkan perhatian sebagian besar rakyat. Mulai dari pembangunan gedung baru DPR sampai kisah tertangkap kameranya seorang anggota dewan ketika sedang menonton video porno. Kita semua akhirnya lupa pada pelaksanaan fungsi anggota dewan seharusnya. Salah satu fu...ngsi DPR adalah legislasi. Fungsi legislasi DPR masih dinilai buruk. Hal ini bukan tanpa alasan. Tidak sampai separuh prolegnas dilaksanakan oleh DPR. Tidak hanya itu, begitu banyak undang-undang yang dihasilkan pun begitu banyak yang dipandang bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara.
Salah satu undang-undang yang amat kontroversial adalah Undang-Undang Nomor  9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Undang-Undang tersebut terbukti bertentangan dengan UUD lewat Putusan MK nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 dengan alasan telah menyebabkan terjadinya penyeragaman. Namun, sepertinya para pembentuk undang-undang tidak pernah lelah untuk senantiasa memasukkan nilai-nilai penyeragaman pada undang-undang lainnya. Pada Senin, 04 April 2011 Rapat Pleno Badan Legislatif (Baleg) DPR RI menghasilkan persetujuan terhadap Draft RUU Pendidikan Tinggi. RUU Pendidikan yang telah melalui pembahasan memiliki banyak kecacatan.
Pembahasan berikut ini akan membahas kecacatan tersebut. Pertama, ketidakjelasan antara tujuan dibentuknya UU Pendidikan Tinggi dengan ketentuan menimbang. Ketentuan menimbang menjadi ruh dalam sebuah undang-undang. Ketentuan menimbang RUU Pendidikan Tinggi menyebutkan

a.    bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia;
b.    bahwa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia;
c.    bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi dalam segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri, kritis, inovatif, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional;

    Ketentuan di atas tidak menunjukkan adanya korelasi antara tujuan menciptakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dengan keinginan pengaturan. Bentuk keinginan pengaturan sama sekali tidak dicantumkan dalam ketentuan menimbang . Tidak jelas bentuk mengatur perguruan tinggi dengan apa yang dimaksudkan dalam RUU tersebut. Apakah akan diatur desain, status, atau manajerial guna mencapai tujuan di atas.
    Dalam ketentuan menimbang justru dimasukkan point c yakni berkaitan dengan perkembangan globalisasi. Agenda besar untuk menjadikan pendidikan sebagai jasa yang dapat diperdagangkan masih menjadi niatan dari pembentuk undang-undang. Hal ini bertentangan dengan semangat menjadikan pendidikan sebagai public goods sebagaimana tercantum dalam Putusan MK nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 tentang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pendidikan sebagai public goods menjadi amanat konstitusi untuk diselenggarakan oleh pemerintah.
    Kedua, prinsip otonomi tidak jelas.  RUU Pendidikan Tinggi  tidak menyebutkan secara terang yang mana yang merupakan otonomi kampus. Pendidikan Tinggi berasaskan: kebenaran ilmiah; otonomi keilmuan; kebebasan akademik; kejujuran; dan keadilan. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa yang otonom adalah keilmuan, tapi dalam Pasal 33 RUU tersebut, makna otonomi justru diperluas. Otonomi adalah kewenangan perguruan tinggi mengelola sendiri. Hal ini membuktikan terdapat penafsiran yang ekstensif terhadap makna otonomi. Sama sekali tidak dijelaskan mengenai otonomi lainnya seperti otonomi keuangan, sumber daya manusia, administrasi, dll .
    Hal yang justru mengherankan adalah diaturnya esensi otonomi keuangan dalam ketentuan pengelolaan keuangan. Berikut ini adalah analisis terhadap Pasal 23 RUU tersebut. Dalam ayat (1) disebutkan bahwa Sumber dana untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi:
Pemerintah; dan masyarakat.
        Ketentuan tersebut merupakan blanket norm (norma terbuka yang sangat mungkin diterjemahkan secara ekstensif oleh pemerintah dalam PP). Disebutkan bahwa masyarakat terlibat dalam penyelenggaraan yakani menjadi sumber dana. Sumber dana melalui masyarakat harus dijelaskan hal apasajakan yang dapat diambil dari masyarakat. Pertanyaannya selanjutnya berapakah proporsi antara kewajiban pemerintah mensuplai dana dengan ke”ikutsertaan masyarakat”.
        Lebih lanjut, harus dipahami bahwa setiap penyelenggara pendidikan tinggi memiliki  kapasitas yang berbeda. Peluang untuk berkompetisi antar penyelenggara pendidikan tinggi sangat ketat. Lantas bagi penyelenggara pendidikan tinggi yang belum mampu untuk menutupi biaya operasioal dengan kemampuan meciptakan peluang usaha dan berinvestasi (penggalangan dana abadi; penggalangan dana beasiswa; dan penggalangan dana penelitian bekerjasama dengan industri) sama sekali tidak diberikan perlakuan berbeda. Dengan tidak adanya kepastian dana dari pemerintah, peluang paling mungkin adalah mengambil dana dari peserta didik atau dengan memanfaatkan asset pernyelenggara pendidikan tinggi tersebut (khusus untuk PT BHMN). Cara lain yang digunakan adalah menciptakan pungutan, memperbanyak mahasiswa yang masuk lewat  jalur masuk yang diperbanyak. Hal ini justru bertentang dengan harapan menciptakan kualitas pendidikan yang baik.
    Ketiga, ketidakjelasan status perguruan tinggi. Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa  status perguruan tinggi terdiri atas Perguruan Tinggi berbadan hukum; Perguruan Tinggi mandiri; dan PTN dan PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian Lain, dan/atau LPNK.  Sementara itu, untuk pola pengelolaan dana secara mandiri untuk PTN berbadan hukum dan PTN mandiri; Pola pengelolaan dana secara mandiri berdasarkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum untuk PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang khusus untuk Perguruan Tinggi; dan pola pengelolaan dana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang keuangan negara untuk PTN atau PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian lain, dan/atau LPNK. Ketentuan lebih lanjut mengenai pola pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah . Melihat ketentuan diatas, sangat kentara untuk membuka peluang terhadap dibentuknya Badan Hukum Pendidikan.
        Keempat, Ketidakjelasan pengaturan mengenai hak masyarakat miskin dan tidak memiliki prestasi akademik baik. Menurut Darmaningtyas, pakar pendidikan, bahwa di Indonesia terdapat diskriminasi terhadap masyarakat miskin dengan prestasi akademik yang kurang baik. Hal tersebut tercermin dalam  Pasal 96 RUU tersebut yang menyatakan bahwa PTN wajib menerima calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa baru. Hanya masyarakat miskin dan memiliki potensi akademik baik yang difasilitasi.

    Akankah kembali ada terang?
        Kita tentu tidak pernah berharap senja senantiasa hadir. Terang menjadi harapan kita semua. Pendidikan Tinggi menjadi tanggung jawab kita semua. Kajian menyeluruh harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat termasuk mahasiswa. Peluang pemebentukan UU Pendidikan tinggi harusnya dipandang sebagai potensi untuk memberikan gagasan. Pengawasan juga harus dilakukan terhadap kinerja pembentuk undang-undang. Rakyat harus berdaulat karena sudah terlalu lama petinggi negara ini meninggalkan rakyatnya.

Selasa, 29 Maret 2011

CITA NEGARA MAFIA


Prof Sadjipto Rahardjo bahwa hukum itu diciptakan dan bekerja berdasarkan asumsi besar bahwa masyarakat manusia itu memiliki ranah nurani dan karena memiliki ranah itulah maka hukum mampu berbicara dan berkomunikasi dengan para anggota masyarakat[1]. Namun kini, publik semakin bertanya hukum hanya mampu berbicara pada mereka yang punya kuasa atas uang dan jabatan. Cita negara hukum yang selam ini gadang-gadang hanya indah didengar tapi miskin impelementasi.
            Hal tersebut dibuktikan dengan episode kasus korupsi yang seakan tidak pernah usai. Kasus Arthalyta dan Gayus, setidaknya memberikan gambaran karut marut nya penegakan hukum. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai para Mafioso. Arthalyta “digdaya” karena mampu menyulap ruang tahanan menjadi kamar mewah. Sementara Gayus, bebas berekreasi padahal berstatus tahanan. Peradilan bukan lagi menjadi benteng rakyat untuk mencari keadilan. Kajian konteks sejarah menjelaskan bahwa muramnya wajah peradilan telah terjadi sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya[2].
            Tunas-tunas tersebut akhirnya terus hidup dan berkembang dalam tubuh institusi penegak hukum. Tidak hanya itu, masyarakat pun akhirnya tertular berperilaku korup. Perilaku korup inilah yang menjadi embrio seseorang melakukan korupsi. Akhirnya kelindan antara penegak hukum dan masyarakat yang korup membentuk manifestasi mafia peradilan. Bentuk-bentuk praktek mafia peradilan dapat dilihat dalam bentuk penyalahgunaan wewenang penegakan hukum.
            Pada tingkat penyelidikan dan penyidikan oleh polisi.  Pembiaran terhadap dugaan tindak pidana, menutup atau memproses perkara karena kolusi, rekayasa barang bukti, intimidasi secara psikis maupun fisik, salah tangkap, penggunaan wewenang menahan untuk memeras korban/ keluarga, penyimpangan prosedur penangguhan penahan. Pada tingkat penuntutan oleh jaksa dilakukan dengan tidak melimpahkan perkara ke PN(di SP3 kan), melakukan pemerasan, melaksanakan tahanan dengan tujuan mendapat imbalan)[3].
            Evaluasi menyeluruh harus dilakukan demi pemberantasan mafia hukum di negeri ini. pertama, pembenahan faktor peraturan perundang-undangan yang memberikan peluang mafia peradilan muncul. Sebagai contoh faktor KUHAP yang interpretable dan memberikan diskresi yang luas kepada aparat penegak hukum telah menjadi sumber terjadinya penyalahgunaan wewenang, sementara hak masyarakat untuk melakukan upaya hukum terhadap penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum tidak diakomodir oleh KUHAP..
            Kedua, sistem kelembagaan aparat penegak hukum. Kejaksaan bersifat kesatuan. Sehingga jaksa tidak independen (dalam membuat rencana tuntutan dikoreksi oleh jaksa yang lebih tinggi). Kita patut bersyukur akhirnya KPK dan Pengadilan Tipikor masih eksis. Hal tersebut tidaklah cukup. IPK Indonesia memang menurun. KPK sampai saat ini adalah penuntut yang sukses menjebloskan koruptor. Kolaborasi Pengadilan Tipikor dan KPK menjadi harapan publik. Ke depan tuntutan kehadiran KPK perwakilan di daerah patut untuk direalisasikan. Dengan demikian dapat dibandingkan secara lebih jelas kinerja Kejaksaan atau KPK yang lebih baik dalam pemberantasan korupsi. Hal ini dapat menjadi usulan untuk menyatuatapkan pemberantasan korupsi di KPK menjadi rasional. Karena dengan kondisi sekarang, pemberantasan korupsi dilaksanakan dengan “keroyokan” justru menumbuhkan resistensi dan konflik di internal penegak hukum.
            Ketiga, meningkatkan moralitas dari aparat penegak hukum. Proses rekuitmen dan pengawasan merupakan keniscayaan bagi terciptanya penegak hukum yang bermoral baik. Tidak hanya itu, pendidikan tinggi hukum pun harus diarahkan pada terciptanya penegak hukum yang merupakan pembela keadilan bukan penghamba uang.
            Keempat, membuat inovasi pemberantasan korupsi. Sebagai bagian dari negara-negara di dunia yang meratifikasi UNCAC. Ternyata Indonesia masih belum memenuhi beberapa kebijakan progresif untuk pemberantasan korupsi yaitu illicit enrichment, deny acses bagi para koruptor.
            Kelima, meningkatkan kesadaran masyarakat. Lawrence M. Friedman, tak akan optimal perubahan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Sementara itu, Jimly Asshidiqqie menyatakan bahwa hukum harus dipandang sebagai kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional); (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental); dan elemen perlikau para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making); (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating); (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating); (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law sosialization and law education); (e) pengelolaan informasi hukum (law information management) penunjang[4]. .
            Sejalan dengan dua pandangan di atas, selama ini reformasi hukum hanya menitikberatkan pada kepada pembangunan aturan dan institusi. Padahal aspek pemberdayaan dan pembudayaan hukum di masyarakat juga harus menjadi prioritas. Praktek mafia peradilan juga disumbang oleh rendahnya kesadaran masyarakat. Budaya feodal pada masa lampau membuat masyarakat terbiasa membungkuk-bungkuk pada penguasa. Peningkatan kesadaran dapat dilakukan dengan sosialisasi pada pendidikan usia dini, pendampingan dan pelatihan masyarakat untuk mengawasi jalannya peradilan.
            Mafia peradilan harus diberantas. Agar cita negara ini tidak berubah menjadi cita negara mafia. Tentu saja dibutuhkan kerjasama semua pihak. Setiap elemen bangsa ini harus turut ambil bagian dalam upaya pemberantasan mafia peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
1.        Asshiddiqie, Jimly, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis, 2008, Jakarta, Penerbit: Sekertariat Jenderal dan Kepanitian Mahkamah Konstitusi RI
2.        Raharjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Perilaku “Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 167
3.        Akar-akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegakan Hukum), Komisi Hukum Nasional RI, hlm. 41-46
LAMAN SITUS
http://jurnalhukum.blogspot.com/2010/05/quo-vadis-pemberantasan-mafia-hukum.html


[1] Satjipto Raharjo, 2009, Hukum dan Perilaku “Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 167
[3] Akar-akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegakan Hukum), Komisi Hukum Nasional RI, hlm. 41-46
[4] Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis, 2008, Jakarta, Penerbit: Sekertariat Jenderal dan Kepanitian Mahkamah Konstitusi RI, hlm: 201

Selasa, 22 Maret 2011

BAU ANYIR REMISI AYIN


Publik kembali terhenyak dengan pemberitaan episode baru para koruptor. Episode kali ini adalah episode dugaan telah diberikan remisi untuk Arthalyta Suryani alias Ayin. Remisi tersebut dikabarkan bahkan membuat Ayin memperoleh bebas bersyarat. Meskipun Menhukham akhirnya angkat suara dan menyatakan hal tersebut tidak benar. Ayin tidak mendapat remisi, memang ada  surat dan masukan untuk memberi remisi tapi nampaknya Dirjen Pemasyarakatan belum menyetujui, ujar Menhukham. (Kedaulatan Rakyat, 12 Januari 2011). Meskipun Menhukham sudah menyangkal pada kenyataannya surat remisi Ayin masih beredar.
            Catatan yang dilansir harian kompas menunjukkan bahwa setidaknya pada bulan Oktober, November, Desember 2010, Menhukham disodori tiga surat usulan agar Ayin dibebaskan bersyarat.  Publik tentunya boleh waspada. Berita pemberian remisi  pada Ayin mengingatkan kita pada Kasus Aulia Pohan yang mendapatkan remisi pada hari kemerdekaan. Sehingga Aulia Pohan dapat bebas bersyarat. Kasus remisi Aulia Pohan hangat di media massa tetapi akhirnya menguap. Kini, kita perlu bertanya makna dan urgensi pemberian remisi bagi koruptor. Alih-alih sebagai bentuk apresiasi terhadap narapidana, remisi justru menjadi alat koruptor untuk bebas bersyarat.
            Ayin merupakan terdakwa dalam kasus penyuapan BLBI, divonis bersalah dan diharuskan menjalani pidana penjara selama 4,5 tahun. Kini, Ayin telah melalui dua pertiga msa tahanannya. Tokoh Ayin mulai dikenal saat dirinya ditengarai sebagai pelaku suap sebesar 660 ribu dolar AS kepada Jaksa Urip Tri Gunawan. Episode kisah Ayin tidak berhenti saat Mahkamah Agung memutus Peninjauan Kembali perkaranya. Pada tanggal 10 Januari 2010, satgas mafia hukum menemukan sel mewah Ayin di Rutan Pondok Bambu. Atas kuasa uang, Ayin bisa menyulap sel menjadi ruang kerja dan kamar tidur yang nyaman. Sampai saat ini kasus sel mewah Ayin masih macet penuntasannya di Kemenhukham. Kemnhukham bahkan sampai saat ini belum melanjutkan temuan Satgas Mafia Hukum ke Kepolisian. Dengan fakta tersebut, kita tentu bertanya layakkah Ayin mendapatkan remisi?.
           
Ayin Tidak Layak
            Surat masukan untuk pemberian remisi untuk Ayin, perlu dianalisis mendalam. Bau anyir tercium menyengat. Hal apakah yang menyebabkan Ayin layak untuk diberikan remisi. Dalam Pasal 34 ayat (3) PP nomor 28 tahun 2006 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor  32 tahun 1999 tentang Tata Cara dan Hak Warga Binaan Permasyarakatan disebutkan bahwa bagi narapidana yang dipidana karena tindak pidana terorisme, narkotika, dan psikotropika korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya diberikan remisi apabila memenuhi kriteria berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana. Syarat pertama adalah berkelakuan baik. Menganalisis kelakuan Ayin selama di penjara, tentu tidak dapat dikatakan baik. Kasus sel mewah membuktikan Ayin berlaku tidak baik. Jelas, persyaratan pertama tidak terpenuhi maka Ayin tidak layak menerima remisi biasa.
            Selain itu, seorang narapidana juga memiliki hak untuk mendapatkan remisi tambahan. Dalam Keputusan Menhukham nomor M.04.-HN.02.01. tahun 2000 tentang  Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Narapidana disebutkan bahwa narapidana dapat memperoleh remisi tambahan apabila berbuat jasa pada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, membantu kegiatan di lembaga permasyarakatan atau rutan. Ayin pun tidak pernah memenuhi persyaratan tersebut.
Bau Anyir
            Oleh karena itu, Ayin seharusnya tidak mendapatkan surat masukan untuk diberikan remisi. Sekali lagi, publik kembali dikecewakan. Kasus sel mewah saja belum tuntas, lantas mengapa Ayin bahkan berkali-kali mendapatkan usulan remisi bahkan bebas bersyarat. Kiranya sudah cukup episode jual beli Ayin dan aparat penegak hukum. Publik mulai jengah dengan tokoh Ayin yang bisa membeli apapun dengan uangnya termasuk keadilan.
            Negeri ini harus mengakui, episode Ayin hanyalah satu dari sekian episode muramnya dunia penegakkan hukum. Kasus joki narapidana, plesiran Gayus juga menjadi bukti lembaga permasyarakatan yang berada di bawah koordinasi Menhukham belum belum juga memperbaiki diri. Evaluasi menyeluruh harus dilakukan oleh Menhukham dan segenap jajarannya. Tentu kita juga tak boleh lupa, sang panglima perang pemberantasan korupsi, Presiden SBY juga patut untuk mengevaluasi kinerjanya. Klaim keberhasilan pembangunan di bidang hukum seakan menjadi hiasan bibir semata. Terdengar lantang disuarakan tapi tidak pernah jelas wujudnya. Setahun kemarin, adalah tahun tanpa makna karena tidak ada perubahan dalam upaya pemberantasan korupsi.
            Kini, tahun 2011 perlahan tapi pasti hadir. Kita justru semakin kehilangan harapan, karena bau anyir remisi Ayin tercium. Korupsi terus menjadi permasalahan yang tak pernah berhenti diberitakan. Tentu saja, dengan lakon yang itu-itu saja. Rakyat tentu menunggu terobosan Presiden SBY untuk mempertanggungjawabkan kinerja Kapolri, Kejagung dan Menhukham yang berada di bawah kekuasaannya. Penuntasan kasus sel mewah seharusnya menajdi prioritas. Tidak hanya itu, perkara pokok Ayin yakni penyuapan bak kalah rating dengan episode koruptor lainnya. Pemeran lain dalam kasus suap tersebut sampai saat ini belum diusut. Maka layakkah Ayin mendapat remisi, jawabannya tentu tidak.


Laras Susanti
Februari 2010

OPERA SABUN PARA ELIT


Opera sabun para elit, paling tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi negeri ini. Para elit sibuk bermain opera sabun. Sementara itu, rakyat hanya menjadi penonton setia yang tidak boleh berkomentar. Setiap episode menceritakan ulah para elit menggeruk sebanyak mungkin keuntungan dari kekuasaan yang dimiliki. Episode Gayus membuat publik miris karena kuasa atas uang membuat Gayus bahkan bisa membeli keadilan. Gayus, dapat membeli vonis, berplesiran ke bali dan luar negeri.
            Episode Gayus sangat berliku penuh dengan kontroversi. Bahkan, kini Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) menjadi sasaran. Satgas yang dikenal sebagai trigger untuk memperbaiki peradilan justru dianggap berkerjasama dengan Gayus. Hal ini ditanggapi oleh berbagai pihak, yang tentu saja sedari awal tidak menyukai keberadaan Satgas PMH. Belum usai kasus Gayus, publik justru dikejutkan dengan ucapan Presiden SBY yang menggambarkan bahwa selama tujuh tahun gaji Presiden tidak berubah. Hal tersebut disampaikan pada saat Presiden SBY memberikan pengarahan pada Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Gedung Balai Samudra Indonesia, Jakarta, Jumat (21/1/2011), mengatakan, pemerintah berkomitmen memerhatikan kesejahteraan anggota TNI dan Polri.
             Ucapan tersebut menimbulkan kontroversi. Entah disengaja atau tidak, ucapan tersebut membuat geger negeri ini. Berbagai kalangan menanggapi ucapan tersebut. Bahkan dilakukan penelusuran gaji pemimpin negara lain. Tujuannya menemukan kepatutan gaji seorang Presiden. Hasilnya gaji SBY lumayan besar. Sehingga beberapa kalangan menilai bahwa ucapan Presiden SBY tidak patut. Tanggapan berbeda justru dikeluarkan oleh Komisi III DPR RI. Komisi III melakukan gerakan pengumpulan koin untuk Presiden SBY. Hal ini dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap Presiden SBY. Bahkan ditengarai sebagai upaya untuk memperuncing situasi di Setgab. Kontroversi terus bergulir. Sekali lagi, rakyat hanya dibiarkan menjadi penonton yang tidak boleh berkomentar.
            Jika sedikit saja berkomentar, maka para elit akan dengan sangat sibuk menanggapi. Publik tentu masih ingat ketika tokoh lintas agama menyebutkan bahwa pemerintah berbohong berdasarkan ketidaktercapaian indicator keberhasilan. Pasca komentar tersebut, para elit terlihat panik. Sejumlah menteri dan anggota parpol mengeluarkan tanggapan. Tentu saja menyatakan bahwa pemerintah tidak berbohong. Setelah itu dilakukan pertemuan antara Presiden SBY dengan tokoh lintas agama. Menganalisis peristiwa di atas, secara jelas rakyat dilarang berkomentar. Jadilah penonton yang baik dengan diam tanpa komentar.
            Memilukan adalah kata yang paling tepat. Di saat rakyat belum pulih dari duka atas penegakan hukum yang kacau, para elit justru berulah. Saat rakyat menunggu aksi konkrit memberantas mafia hukum, Presiden malah menyatakan gaji nya belum juga naik. Saat rakyat terluka akibat 26 orang anggota DPR dijadikan tersangka karena menerima travel cheque pada pemilihan Gubernur BI, justru anggota DPR baru berniat membangun gedung baru. Pengumpulan koin yang dilakukan oleh para anggota DPR harusnya diiringi koreksi diri. Koreksi untuk tidak membangun gedung baru karena baik kenaikan gaji Presiden maupun gedung baru DPR, keduanya melukai hati rakyat.
            Tindakan para elit sudah sangat keterlaluan. Mereka meminta “imbalan” yang berlebihan tanpa mengoreksi kinerja yang telah dilakukan. Setahun kemarin setidaknya bisa menjadi bahan untuk evaluasi. Tahun tanpa makna merupakan kalimat yang peling tepat. Pemberantasan korupsi jalan di tempat. Beberapa kasus terungkap tapi penuntasannya tidak jelas. Penuntasan kasus century semakin tidak terdengar seiring dengan pudarnya memori publik. Korupsi Depsos diproses sangat lambat. Tidak hanya itu, reformasi birokrasi semakin nyata hanya sekedar janji. Skandal pajak dan plesiran Gayus menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di tubuh kementerian keuangan, kepolisian dan kejaksaan belum berhasil.
            Sementara itu, DPR belum menunjukkan kinerja yang optimal. Publik semakin kehilangan kepercayaan. Hal ini wajar karena fungsi legislasi DPR hanya maksimal untuk UU tentang pemekaran wilayah. Prolegnas tidak pernah kelar dibahas. Fungsi pengawasan DPR semakin tidak jelas pasca dibentuknya Setgab. Sementara itu, fungsi anggaran, DPR lebih sering menajdi cap stempel pemerintah. Tidak lain karena segala sesuatunya bisa diselesaikan di Setgab.
            Pertanyaan besarnya masih patutkah gaji Presiden dinaikkan dan gedung baru untuk DPR. Jawabannya tentu tidak. Aparatur pemerintah seharusnya menjadi pelayan publik. Tidak layak rasanya meminta upeti pada rakyat. Jika para anggota DPR masih bersikeras membangun gedung baru Rasanya rakyat Jogja bisa bertindak memberikan tanggapan atas hal tersebut dengan menyumbangkan pasir merapi. Jika presiden beroleh koin maka DPR beroleh pasir para korban merapi. Sindiran yang agaknya tepat diberikan pada mereka yang tidak juga sadar dari, oleh dan untuk siapa mereka hadir. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD. Sehingga seharusnya pemerintah hadir dari oleh dan untuk rakyat guna mencapai tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.


           
 oleh
laras susanti

peneliti PuKat Korupsi FH UGM

26 Januari 2011