Selasa, 29 Maret 2011

CITA NEGARA MAFIA


Prof Sadjipto Rahardjo bahwa hukum itu diciptakan dan bekerja berdasarkan asumsi besar bahwa masyarakat manusia itu memiliki ranah nurani dan karena memiliki ranah itulah maka hukum mampu berbicara dan berkomunikasi dengan para anggota masyarakat[1]. Namun kini, publik semakin bertanya hukum hanya mampu berbicara pada mereka yang punya kuasa atas uang dan jabatan. Cita negara hukum yang selam ini gadang-gadang hanya indah didengar tapi miskin impelementasi.
            Hal tersebut dibuktikan dengan episode kasus korupsi yang seakan tidak pernah usai. Kasus Arthalyta dan Gayus, setidaknya memberikan gambaran karut marut nya penegakan hukum. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai para Mafioso. Arthalyta “digdaya” karena mampu menyulap ruang tahanan menjadi kamar mewah. Sementara Gayus, bebas berekreasi padahal berstatus tahanan. Peradilan bukan lagi menjadi benteng rakyat untuk mencari keadilan. Kajian konteks sejarah menjelaskan bahwa muramnya wajah peradilan telah terjadi sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya[2].
            Tunas-tunas tersebut akhirnya terus hidup dan berkembang dalam tubuh institusi penegak hukum. Tidak hanya itu, masyarakat pun akhirnya tertular berperilaku korup. Perilaku korup inilah yang menjadi embrio seseorang melakukan korupsi. Akhirnya kelindan antara penegak hukum dan masyarakat yang korup membentuk manifestasi mafia peradilan. Bentuk-bentuk praktek mafia peradilan dapat dilihat dalam bentuk penyalahgunaan wewenang penegakan hukum.
            Pada tingkat penyelidikan dan penyidikan oleh polisi.  Pembiaran terhadap dugaan tindak pidana, menutup atau memproses perkara karena kolusi, rekayasa barang bukti, intimidasi secara psikis maupun fisik, salah tangkap, penggunaan wewenang menahan untuk memeras korban/ keluarga, penyimpangan prosedur penangguhan penahan. Pada tingkat penuntutan oleh jaksa dilakukan dengan tidak melimpahkan perkara ke PN(di SP3 kan), melakukan pemerasan, melaksanakan tahanan dengan tujuan mendapat imbalan)[3].
            Evaluasi menyeluruh harus dilakukan demi pemberantasan mafia hukum di negeri ini. pertama, pembenahan faktor peraturan perundang-undangan yang memberikan peluang mafia peradilan muncul. Sebagai contoh faktor KUHAP yang interpretable dan memberikan diskresi yang luas kepada aparat penegak hukum telah menjadi sumber terjadinya penyalahgunaan wewenang, sementara hak masyarakat untuk melakukan upaya hukum terhadap penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum tidak diakomodir oleh KUHAP..
            Kedua, sistem kelembagaan aparat penegak hukum. Kejaksaan bersifat kesatuan. Sehingga jaksa tidak independen (dalam membuat rencana tuntutan dikoreksi oleh jaksa yang lebih tinggi). Kita patut bersyukur akhirnya KPK dan Pengadilan Tipikor masih eksis. Hal tersebut tidaklah cukup. IPK Indonesia memang menurun. KPK sampai saat ini adalah penuntut yang sukses menjebloskan koruptor. Kolaborasi Pengadilan Tipikor dan KPK menjadi harapan publik. Ke depan tuntutan kehadiran KPK perwakilan di daerah patut untuk direalisasikan. Dengan demikian dapat dibandingkan secara lebih jelas kinerja Kejaksaan atau KPK yang lebih baik dalam pemberantasan korupsi. Hal ini dapat menjadi usulan untuk menyatuatapkan pemberantasan korupsi di KPK menjadi rasional. Karena dengan kondisi sekarang, pemberantasan korupsi dilaksanakan dengan “keroyokan” justru menumbuhkan resistensi dan konflik di internal penegak hukum.
            Ketiga, meningkatkan moralitas dari aparat penegak hukum. Proses rekuitmen dan pengawasan merupakan keniscayaan bagi terciptanya penegak hukum yang bermoral baik. Tidak hanya itu, pendidikan tinggi hukum pun harus diarahkan pada terciptanya penegak hukum yang merupakan pembela keadilan bukan penghamba uang.
            Keempat, membuat inovasi pemberantasan korupsi. Sebagai bagian dari negara-negara di dunia yang meratifikasi UNCAC. Ternyata Indonesia masih belum memenuhi beberapa kebijakan progresif untuk pemberantasan korupsi yaitu illicit enrichment, deny acses bagi para koruptor.
            Kelima, meningkatkan kesadaran masyarakat. Lawrence M. Friedman, tak akan optimal perubahan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Sementara itu, Jimly Asshidiqqie menyatakan bahwa hukum harus dipandang sebagai kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional); (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental); dan elemen perlikau para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making); (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating); (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating); (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law sosialization and law education); (e) pengelolaan informasi hukum (law information management) penunjang[4]. .
            Sejalan dengan dua pandangan di atas, selama ini reformasi hukum hanya menitikberatkan pada kepada pembangunan aturan dan institusi. Padahal aspek pemberdayaan dan pembudayaan hukum di masyarakat juga harus menjadi prioritas. Praktek mafia peradilan juga disumbang oleh rendahnya kesadaran masyarakat. Budaya feodal pada masa lampau membuat masyarakat terbiasa membungkuk-bungkuk pada penguasa. Peningkatan kesadaran dapat dilakukan dengan sosialisasi pada pendidikan usia dini, pendampingan dan pelatihan masyarakat untuk mengawasi jalannya peradilan.
            Mafia peradilan harus diberantas. Agar cita negara ini tidak berubah menjadi cita negara mafia. Tentu saja dibutuhkan kerjasama semua pihak. Setiap elemen bangsa ini harus turut ambil bagian dalam upaya pemberantasan mafia peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
1.        Asshiddiqie, Jimly, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis, 2008, Jakarta, Penerbit: Sekertariat Jenderal dan Kepanitian Mahkamah Konstitusi RI
2.        Raharjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Perilaku “Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 167
3.        Akar-akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegakan Hukum), Komisi Hukum Nasional RI, hlm. 41-46
LAMAN SITUS
http://jurnalhukum.blogspot.com/2010/05/quo-vadis-pemberantasan-mafia-hukum.html


[1] Satjipto Raharjo, 2009, Hukum dan Perilaku “Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 167
[3] Akar-akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegakan Hukum), Komisi Hukum Nasional RI, hlm. 41-46
[4] Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis, 2008, Jakarta, Penerbit: Sekertariat Jenderal dan Kepanitian Mahkamah Konstitusi RI, hlm: 201

Selasa, 22 Maret 2011

BAU ANYIR REMISI AYIN


Publik kembali terhenyak dengan pemberitaan episode baru para koruptor. Episode kali ini adalah episode dugaan telah diberikan remisi untuk Arthalyta Suryani alias Ayin. Remisi tersebut dikabarkan bahkan membuat Ayin memperoleh bebas bersyarat. Meskipun Menhukham akhirnya angkat suara dan menyatakan hal tersebut tidak benar. Ayin tidak mendapat remisi, memang ada  surat dan masukan untuk memberi remisi tapi nampaknya Dirjen Pemasyarakatan belum menyetujui, ujar Menhukham. (Kedaulatan Rakyat, 12 Januari 2011). Meskipun Menhukham sudah menyangkal pada kenyataannya surat remisi Ayin masih beredar.
            Catatan yang dilansir harian kompas menunjukkan bahwa setidaknya pada bulan Oktober, November, Desember 2010, Menhukham disodori tiga surat usulan agar Ayin dibebaskan bersyarat.  Publik tentunya boleh waspada. Berita pemberian remisi  pada Ayin mengingatkan kita pada Kasus Aulia Pohan yang mendapatkan remisi pada hari kemerdekaan. Sehingga Aulia Pohan dapat bebas bersyarat. Kasus remisi Aulia Pohan hangat di media massa tetapi akhirnya menguap. Kini, kita perlu bertanya makna dan urgensi pemberian remisi bagi koruptor. Alih-alih sebagai bentuk apresiasi terhadap narapidana, remisi justru menjadi alat koruptor untuk bebas bersyarat.
            Ayin merupakan terdakwa dalam kasus penyuapan BLBI, divonis bersalah dan diharuskan menjalani pidana penjara selama 4,5 tahun. Kini, Ayin telah melalui dua pertiga msa tahanannya. Tokoh Ayin mulai dikenal saat dirinya ditengarai sebagai pelaku suap sebesar 660 ribu dolar AS kepada Jaksa Urip Tri Gunawan. Episode kisah Ayin tidak berhenti saat Mahkamah Agung memutus Peninjauan Kembali perkaranya. Pada tanggal 10 Januari 2010, satgas mafia hukum menemukan sel mewah Ayin di Rutan Pondok Bambu. Atas kuasa uang, Ayin bisa menyulap sel menjadi ruang kerja dan kamar tidur yang nyaman. Sampai saat ini kasus sel mewah Ayin masih macet penuntasannya di Kemenhukham. Kemnhukham bahkan sampai saat ini belum melanjutkan temuan Satgas Mafia Hukum ke Kepolisian. Dengan fakta tersebut, kita tentu bertanya layakkah Ayin mendapatkan remisi?.
           
Ayin Tidak Layak
            Surat masukan untuk pemberian remisi untuk Ayin, perlu dianalisis mendalam. Bau anyir tercium menyengat. Hal apakah yang menyebabkan Ayin layak untuk diberikan remisi. Dalam Pasal 34 ayat (3) PP nomor 28 tahun 2006 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor  32 tahun 1999 tentang Tata Cara dan Hak Warga Binaan Permasyarakatan disebutkan bahwa bagi narapidana yang dipidana karena tindak pidana terorisme, narkotika, dan psikotropika korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya diberikan remisi apabila memenuhi kriteria berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana. Syarat pertama adalah berkelakuan baik. Menganalisis kelakuan Ayin selama di penjara, tentu tidak dapat dikatakan baik. Kasus sel mewah membuktikan Ayin berlaku tidak baik. Jelas, persyaratan pertama tidak terpenuhi maka Ayin tidak layak menerima remisi biasa.
            Selain itu, seorang narapidana juga memiliki hak untuk mendapatkan remisi tambahan. Dalam Keputusan Menhukham nomor M.04.-HN.02.01. tahun 2000 tentang  Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Narapidana disebutkan bahwa narapidana dapat memperoleh remisi tambahan apabila berbuat jasa pada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, membantu kegiatan di lembaga permasyarakatan atau rutan. Ayin pun tidak pernah memenuhi persyaratan tersebut.
Bau Anyir
            Oleh karena itu, Ayin seharusnya tidak mendapatkan surat masukan untuk diberikan remisi. Sekali lagi, publik kembali dikecewakan. Kasus sel mewah saja belum tuntas, lantas mengapa Ayin bahkan berkali-kali mendapatkan usulan remisi bahkan bebas bersyarat. Kiranya sudah cukup episode jual beli Ayin dan aparat penegak hukum. Publik mulai jengah dengan tokoh Ayin yang bisa membeli apapun dengan uangnya termasuk keadilan.
            Negeri ini harus mengakui, episode Ayin hanyalah satu dari sekian episode muramnya dunia penegakkan hukum. Kasus joki narapidana, plesiran Gayus juga menjadi bukti lembaga permasyarakatan yang berada di bawah koordinasi Menhukham belum belum juga memperbaiki diri. Evaluasi menyeluruh harus dilakukan oleh Menhukham dan segenap jajarannya. Tentu kita juga tak boleh lupa, sang panglima perang pemberantasan korupsi, Presiden SBY juga patut untuk mengevaluasi kinerjanya. Klaim keberhasilan pembangunan di bidang hukum seakan menjadi hiasan bibir semata. Terdengar lantang disuarakan tapi tidak pernah jelas wujudnya. Setahun kemarin, adalah tahun tanpa makna karena tidak ada perubahan dalam upaya pemberantasan korupsi.
            Kini, tahun 2011 perlahan tapi pasti hadir. Kita justru semakin kehilangan harapan, karena bau anyir remisi Ayin tercium. Korupsi terus menjadi permasalahan yang tak pernah berhenti diberitakan. Tentu saja, dengan lakon yang itu-itu saja. Rakyat tentu menunggu terobosan Presiden SBY untuk mempertanggungjawabkan kinerja Kapolri, Kejagung dan Menhukham yang berada di bawah kekuasaannya. Penuntasan kasus sel mewah seharusnya menajdi prioritas. Tidak hanya itu, perkara pokok Ayin yakni penyuapan bak kalah rating dengan episode koruptor lainnya. Pemeran lain dalam kasus suap tersebut sampai saat ini belum diusut. Maka layakkah Ayin mendapat remisi, jawabannya tentu tidak.


Laras Susanti
Februari 2010

OPERA SABUN PARA ELIT


Opera sabun para elit, paling tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi negeri ini. Para elit sibuk bermain opera sabun. Sementara itu, rakyat hanya menjadi penonton setia yang tidak boleh berkomentar. Setiap episode menceritakan ulah para elit menggeruk sebanyak mungkin keuntungan dari kekuasaan yang dimiliki. Episode Gayus membuat publik miris karena kuasa atas uang membuat Gayus bahkan bisa membeli keadilan. Gayus, dapat membeli vonis, berplesiran ke bali dan luar negeri.
            Episode Gayus sangat berliku penuh dengan kontroversi. Bahkan, kini Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) menjadi sasaran. Satgas yang dikenal sebagai trigger untuk memperbaiki peradilan justru dianggap berkerjasama dengan Gayus. Hal ini ditanggapi oleh berbagai pihak, yang tentu saja sedari awal tidak menyukai keberadaan Satgas PMH. Belum usai kasus Gayus, publik justru dikejutkan dengan ucapan Presiden SBY yang menggambarkan bahwa selama tujuh tahun gaji Presiden tidak berubah. Hal tersebut disampaikan pada saat Presiden SBY memberikan pengarahan pada Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Gedung Balai Samudra Indonesia, Jakarta, Jumat (21/1/2011), mengatakan, pemerintah berkomitmen memerhatikan kesejahteraan anggota TNI dan Polri.
             Ucapan tersebut menimbulkan kontroversi. Entah disengaja atau tidak, ucapan tersebut membuat geger negeri ini. Berbagai kalangan menanggapi ucapan tersebut. Bahkan dilakukan penelusuran gaji pemimpin negara lain. Tujuannya menemukan kepatutan gaji seorang Presiden. Hasilnya gaji SBY lumayan besar. Sehingga beberapa kalangan menilai bahwa ucapan Presiden SBY tidak patut. Tanggapan berbeda justru dikeluarkan oleh Komisi III DPR RI. Komisi III melakukan gerakan pengumpulan koin untuk Presiden SBY. Hal ini dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap Presiden SBY. Bahkan ditengarai sebagai upaya untuk memperuncing situasi di Setgab. Kontroversi terus bergulir. Sekali lagi, rakyat hanya dibiarkan menjadi penonton yang tidak boleh berkomentar.
            Jika sedikit saja berkomentar, maka para elit akan dengan sangat sibuk menanggapi. Publik tentu masih ingat ketika tokoh lintas agama menyebutkan bahwa pemerintah berbohong berdasarkan ketidaktercapaian indicator keberhasilan. Pasca komentar tersebut, para elit terlihat panik. Sejumlah menteri dan anggota parpol mengeluarkan tanggapan. Tentu saja menyatakan bahwa pemerintah tidak berbohong. Setelah itu dilakukan pertemuan antara Presiden SBY dengan tokoh lintas agama. Menganalisis peristiwa di atas, secara jelas rakyat dilarang berkomentar. Jadilah penonton yang baik dengan diam tanpa komentar.
            Memilukan adalah kata yang paling tepat. Di saat rakyat belum pulih dari duka atas penegakan hukum yang kacau, para elit justru berulah. Saat rakyat menunggu aksi konkrit memberantas mafia hukum, Presiden malah menyatakan gaji nya belum juga naik. Saat rakyat terluka akibat 26 orang anggota DPR dijadikan tersangka karena menerima travel cheque pada pemilihan Gubernur BI, justru anggota DPR baru berniat membangun gedung baru. Pengumpulan koin yang dilakukan oleh para anggota DPR harusnya diiringi koreksi diri. Koreksi untuk tidak membangun gedung baru karena baik kenaikan gaji Presiden maupun gedung baru DPR, keduanya melukai hati rakyat.
            Tindakan para elit sudah sangat keterlaluan. Mereka meminta “imbalan” yang berlebihan tanpa mengoreksi kinerja yang telah dilakukan. Setahun kemarin setidaknya bisa menjadi bahan untuk evaluasi. Tahun tanpa makna merupakan kalimat yang peling tepat. Pemberantasan korupsi jalan di tempat. Beberapa kasus terungkap tapi penuntasannya tidak jelas. Penuntasan kasus century semakin tidak terdengar seiring dengan pudarnya memori publik. Korupsi Depsos diproses sangat lambat. Tidak hanya itu, reformasi birokrasi semakin nyata hanya sekedar janji. Skandal pajak dan plesiran Gayus menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di tubuh kementerian keuangan, kepolisian dan kejaksaan belum berhasil.
            Sementara itu, DPR belum menunjukkan kinerja yang optimal. Publik semakin kehilangan kepercayaan. Hal ini wajar karena fungsi legislasi DPR hanya maksimal untuk UU tentang pemekaran wilayah. Prolegnas tidak pernah kelar dibahas. Fungsi pengawasan DPR semakin tidak jelas pasca dibentuknya Setgab. Sementara itu, fungsi anggaran, DPR lebih sering menajdi cap stempel pemerintah. Tidak lain karena segala sesuatunya bisa diselesaikan di Setgab.
            Pertanyaan besarnya masih patutkah gaji Presiden dinaikkan dan gedung baru untuk DPR. Jawabannya tentu tidak. Aparatur pemerintah seharusnya menjadi pelayan publik. Tidak layak rasanya meminta upeti pada rakyat. Jika para anggota DPR masih bersikeras membangun gedung baru Rasanya rakyat Jogja bisa bertindak memberikan tanggapan atas hal tersebut dengan menyumbangkan pasir merapi. Jika presiden beroleh koin maka DPR beroleh pasir para korban merapi. Sindiran yang agaknya tepat diberikan pada mereka yang tidak juga sadar dari, oleh dan untuk siapa mereka hadir. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD. Sehingga seharusnya pemerintah hadir dari oleh dan untuk rakyat guna mencapai tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.


           
 oleh
laras susanti

peneliti PuKat Korupsi FH UGM

26 Januari 2011

KE (TIDAK) ARIFAN LOKAL



            Kini, perlahan dan pasti, tahun 2011 berjalan. Korupsi masih saja menjadi perhatian serius di negeri ini. Berbagai upaya dilakukan seperti membentuk Inpres dan Satgas Mafia Hukum. Hasilnya tidak dapat dikatakan baik. Kasus korupsi bak opera sabun yang sangat panjang. Opera sabun yang cerita dan pemainnya “itu-itu” saja. Opera sabun dengan episode korupsi dana rekonstruksi bencana contohnya.
            Bencana alam hampir menjadi berita sehari-hari di negeri ini. Entah tanah longsor, banjir, gunung meletus dan banyak lainnya. Bencana alam yang seharusnya menjadi peringatan agar lebih arif pada lingkungan justru menjadi lading emas bagi para pengemplang dana rekonstruksi bencana. Publik tentu tak pernah lupa pada gempa Bantul empat tahun lalu. Gempa tersebut meninggalkan begitu banyak cerita duka. Korban jiwa dan harta diderita oleh ribuan warga Bantul.
            Pepatah sudah jatuh tertimpa tangga kiranya layak untuk disematkan untuk warga Bantul. Setelah menderita karena bencana, mereka kembali dirugikan oleh pemotongan dana rekonstruksi yang dilakukan oleh Pamong Desa dengan tujuan kearifan lokal. Sampai pertengahan tahun 2010, setidaknya ada 3 tiga lurah di Bantul yang menjadi tersangka dugaan kasus korupsi dana rekonstruksi dengan motif kearifan lokal. Kearifan lokal yang dimaksud adalah upaya mempercepat pembangunan dusun dengan menggunakan sebagian dana rekonstruksi yang menjadi hak korban gempa. Sebagai contoh dijanjikan akan digunakan untuk membangun rumah ibadah, gapura desa, dan fasilitas umum lainnya.
            Namun kearifan lokal yang dimaksud justru terbukti berbeda di PN Bantul. M Sukro Nurharjono, Ketua Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (Apdesi) DIY yang juga lurah Desa Selopamioro Imogiri, Bantul, divonis satu tahun empat bulan penjara oleh majelis hakim PN Bantul. Sukro dan tiga terdakwa lainnya dinyatakan bersalah karena terbukti melakukan tindak pindana korupsi (Tipikor) secara berkelanjutan. Terdakwa melanggar pasal 3 UU Nomor 31/1999, junto UU No. 20/2001 tentang tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sekitar Rp865 juta dengan cara memotong dana rekonstruksi gempa Bantul. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal justru terbukti memenuhi unsur-unsur korupsi. Alih-alih kearifan lokal justru yang terjadi ke(tidak)arifan lokal.
            Sungguh merupakan hal yang keji membuat para korban bencana semakin menderita. Apalagi dilakukan secara sistematis oleh aparat. Kasus korupsi di atas, kini masih terus bergulir dan Mantan Bupati Bantul, Idham Samawi, ditengarai juga terlibat. Para lurah yang terseret dugaan kasus korupsi menyatakan bahwa pemotongan dana rekonstruksi sudah mendapat dukungan dari segenap elemen daerah. Dalam logika birokrasi, hal ini sangat rasional. Keputusan yang diambil para lurah berasal dari instruksi ataupun dengan persetujuan Bupati.
            Belum tuntas kasus Bantul, Yogyakarta kembali berduka. November tahun 2010 menjadi bulan tanggap darurat Bencana Merapi. Gunung merapi meletus dan mengeluarkan awan panas dan abu vulkanik yang membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Pasca bencana, pemerintah bersiap mengalokasikan anggaran sebesar Rp400 miliar untuk pemulihan kesejahteraan masyarakat sekitar Merapi. Demikian disampaikan oleh Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Sesmenko Kesra) Indroyono Susilo.
Mencegah dan Memadamkan 
            Mari mencegah adanya korupsi dengan tidak menghalalkan “kearifan lokal” digunakan sebagai tameng untuk “menyunat” dana rekonstruksi Merapi. Bantul membuat kita semua belajar Ke (tidak) arifan lokal terjadi karena kita memberikan kesempatan untuk menyunat dan menyelewengkan dana rekonstruksi. Kalau soal pembangunan fasilitas umum itu menjadi kewajiban pemerintah. Jangan biarkan ke(tidak)arifan lokal justru memperkaya seseorang atau golongan. Upaya memadamkan (baca:mengusut tuntas) korupsi harus terus dilakukan untuk dugaan korupsi dana rekonstruksi Bantul. Tapi, tentu kita tidak boleh lupa untuk mencegah hal yang sama terjadi pada korban bencana Merapi.
            Pertama, masyarakat perlu mewaspadai segala bentuk modus operandi yang dilakukan oleh pamong desa untuk melakukan pemotongan terhadap dana rekonstruksi. Ke(tidak)arifan lokal di Bantul, sulit untuk diusut karena masyarakat percaya pada “tipuan” yang dilakukan oleh para pamong desa. Pamong desa merasa nyaman untuk memotong dana karena masyarakat menyetujui termasuk tidak diberikannya bukti serah terima dana. Masyarakat selama ini juga merasa enggan melaporkan karena merasa segan pada pamong desa. Jika dicermati, ini mirip budaya feodal zaman dahulu bahwa pamong berhak memperoleh upeti. Sejatinya, pamong adalah pelayan masyarakat yang mengabdi bukan untuk beroleh upeti. Kedua, melakukan pengawasan terhadap jalannya pencairan dana. Disini peran civil society sangat penting. Ketiga, mendesak aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan-laporan masyarakat berkaitan dengan dugaan korupsi dana rekonstruksi. Terakhir, untuk para calon pengempang dana rekonstruksi, ingatlah, UU 31/1999 junto UU 20/2001 menyatakan bahwa korupsi yang dilakukan pada saat bencana diancam dengan pidana mati. Ke(tidak)arifan lokal tidak akan terjadi jika ada dukungan dari semua pihak. Dengan demikian tidak akan pernah ada episode korupsi dana rekonstruksi di daerah lain.Semoga.
           


 Laras Susanti
dimuat pada harian jogja 

URGENSI KPK PERWAKILAN


UUD NRI Tahun 1945 sebagai kontrak sosial politik tertinggi menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Realitanya hukum belum tegak di negeri ini. Penyebabnya adalah operasi sabun para elit. Setiap episode menunjukkan pada publik kedigdayaan kuasa atas jabatan dan uang. Dengan kekuasaan para elit dapat membeli aparat penegak hukum. Episode Arthalyta, Anggodo dan Gayus menjadi bukti bahwa hukum tidak lagi berpihak pada keadilan tapi pada kekuasaan.
            Sebuah adagium menyatakan bahwa tanpa hukum, kekuasaan akan sewenang-wenang. Sementara itu, tanpa kekuasaan, hukum tidak akan mampu ditegakkan. Kini, hukum tidak dapat ditegakkan karena keengganan kekuasaan. Penyelenggara negara tak mampu menegakkan hukum karena terpenjara kasus inilah yang lazim disebut state capture corruptions. Akhirnya pemberantasan korupsi hanya indah didengar tapi minim implementasi. Sekedar janji yang sulit dibuktikan pemenuhannya.
            Begitu banyak kasus korupsi yang dijanjikan untuk dituntaskan. Namun sering sekali tanpa perkembangan yang berarti. Beberapa kasus diatas berada pada level nasional antara lain penetapan anggota DPR sebagai tersangka penerima travel cheque terhambat karena seorang saksi kunci, Nunun Nurbaeti masih belum ditemukan keberadaannya. Belum lagi kasus mega korupsi lain seperti BLBI, Century, Perpajakan masih belum ada perkembangan signifikan. Kasus-kasus tersebut sulit diungkap karena relasi yang amat kuat dengan penyelenggara negara, partai politik dan pengusaha. Kasus korupsi di daerah pun tak jauh berbeda dengan modus yang dilakukan pada kasus korupsi nasional.
            Berdasarkan Trend Corruptions Report Tahun 2010 oleh Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM, diketahui bahwa aktor korupsi didominasi oleh kepala daerah. Otonomi luas tidak dimaknai sebagai upaya memberikan pelayanan kepada masyarakat tetapi justru untuk memperkaya diri sendiri. Otonomi tidak disertai dengan pembinaan dan pengawasan yang maksimal dari pemerintah. Contoh kasus korupsi daerah ialah Bupati Brebes, Indra Kusuma. Indra diduga menggelembungkan dana pengadaan tanah untuk pembangunan pasar daerah seluas dua hektare. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 5 miliar. Hasil penyidikan KPK menemukan kelindan Indra dengan pengusaha sewaktu pemilukada Brebes.
            Kasus Brebes hanya merupakan satu dari ratusan kasus korupsi daerah lainnya. Pemberantasan korupsi daerah dinilai belum maksimal. Hal tersebut setidaknya disebabkan oleh tidak maksimalnya penegakkan hukum kasus korupsi di daerah oleh aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan), kekuatan anti korupsi di daerah cenderung konvensional serta lemah insiatifnya, belum optimalnya peran KPK di daerah, adanya karakteristik khas budaya politik di daerah yang cenderung menumbuhkan korupsi.  
             Pada kasus di atas, KPK mengambilalih penyidikan yang telah dilakukan oleh Kepolisian. Pertanyaannya mengapa KPK harus turun tangan jika KPK memiliki kewenangan suvervisi dan koordinasi kepada aparat penegak hukum. Jika suvervisi dan koordinasi dilakukan dengan maksimal maka tidak perlu KPK kebanjiran kasus sehingga overload. KPK hanya memiliki 153 orang penyidik, dan anggaran Rp 431 milliar. Rasanya sulit KPK dapat optimal. Terlebih suvervisi dan koordinasi tidak berjalan optimal akibat konflik di internal penegak hukum. KPK bukan dipandang mitra kerja oleh kepolisian maupun kejaksaan. KPK dipandang sebagai rival. Padahal secara jelas Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism bagi Kejaksaan dan Kepolisian.
            Selain itu, proyeksi tunggakan kasus akan semakin besar merupakan  pandangan yang amat rasional. Hal ini karena  Pengadilan Tipikor mulai hadir di beberapa daerah. Selama ini KPK merupakan mitra kerja yang amat baik bagi Pengadilan Tipikor. Namun dengan sumber daya manusia dan anggaran yang terbatas, hal tersebut sulit diimplementasikan.
            Oleh karena itu, sangat urgen mendirikan KPK perwakilan di beberapa daerah di Indonesia. KPK perwakilan rencananya akan didirikan di beberapa daerah. KPK perwakilan diharapkan mampu menjadi trigger mechanism bagi kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian, desentralisasi pemberantasan korupsi akan menjadi kenyataan. Namun ada beberapa hal yang harus dianalisis mendalam sebelum mendirikan KPK perwakilan. Pertama, format KPK perwakilan. Sebaiknya KPK perwakilan tidak diberikan kewenangan penindakan tetapi cukup pencegahan, suvervisi dan koordinasi. Usulan KPK bisa mengangkat penyidik mandiri akan sangat mendukung kinerja KPK perwakilan ke depan. Namun sampai saat ini usulan penyidik mandiri belum mendapat restu dari DPR. Kedua,  memperkuat masyarakat sipil anti korupsi di level daerah. Pengawasan masyarakat harus digiatkan agar KPK perwakilan dapat dijaga integritasnya. Masyarakat dapat memberikan data maupun kajian mengenai korupsi daerah. Dengan kerjasama yang baik antara KPK perwakilan dan masyarakat sipil KPK perwakilan dapat maksimal menjalankan kewenangannya.
            KPK perwakilan hanya menjadi wacana tanpa impementasi jika tidak ada desakan kepada pemerintah dan DPR. Rencana revisi UU KPK menjadi salah satu jalan masuk untuk memasukkan usulan KPK perwakilan. Namun harus kita baca bersama, jangan sampai desakan PK Perwakilan justru  dijadikan sasaran untuk memperkecil kewenangan  KPK. Semoga sinergi KPK perwakilan dan pengadilan tipikor di daerah menjadi solusi bagi pemberantasan korupsi daerah.

oleh 
laras susanti
peneliti pusat kajian anti korupsi FH UGM

Maret 2010