Selasa, 29 Maret 2011

CITA NEGARA MAFIA


Prof Sadjipto Rahardjo bahwa hukum itu diciptakan dan bekerja berdasarkan asumsi besar bahwa masyarakat manusia itu memiliki ranah nurani dan karena memiliki ranah itulah maka hukum mampu berbicara dan berkomunikasi dengan para anggota masyarakat[1]. Namun kini, publik semakin bertanya hukum hanya mampu berbicara pada mereka yang punya kuasa atas uang dan jabatan. Cita negara hukum yang selam ini gadang-gadang hanya indah didengar tapi miskin impelementasi.
            Hal tersebut dibuktikan dengan episode kasus korupsi yang seakan tidak pernah usai. Kasus Arthalyta dan Gayus, setidaknya memberikan gambaran karut marut nya penegakan hukum. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai para Mafioso. Arthalyta “digdaya” karena mampu menyulap ruang tahanan menjadi kamar mewah. Sementara Gayus, bebas berekreasi padahal berstatus tahanan. Peradilan bukan lagi menjadi benteng rakyat untuk mencari keadilan. Kajian konteks sejarah menjelaskan bahwa muramnya wajah peradilan telah terjadi sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya[2].
            Tunas-tunas tersebut akhirnya terus hidup dan berkembang dalam tubuh institusi penegak hukum. Tidak hanya itu, masyarakat pun akhirnya tertular berperilaku korup. Perilaku korup inilah yang menjadi embrio seseorang melakukan korupsi. Akhirnya kelindan antara penegak hukum dan masyarakat yang korup membentuk manifestasi mafia peradilan. Bentuk-bentuk praktek mafia peradilan dapat dilihat dalam bentuk penyalahgunaan wewenang penegakan hukum.
            Pada tingkat penyelidikan dan penyidikan oleh polisi.  Pembiaran terhadap dugaan tindak pidana, menutup atau memproses perkara karena kolusi, rekayasa barang bukti, intimidasi secara psikis maupun fisik, salah tangkap, penggunaan wewenang menahan untuk memeras korban/ keluarga, penyimpangan prosedur penangguhan penahan. Pada tingkat penuntutan oleh jaksa dilakukan dengan tidak melimpahkan perkara ke PN(di SP3 kan), melakukan pemerasan, melaksanakan tahanan dengan tujuan mendapat imbalan)[3].
            Evaluasi menyeluruh harus dilakukan demi pemberantasan mafia hukum di negeri ini. pertama, pembenahan faktor peraturan perundang-undangan yang memberikan peluang mafia peradilan muncul. Sebagai contoh faktor KUHAP yang interpretable dan memberikan diskresi yang luas kepada aparat penegak hukum telah menjadi sumber terjadinya penyalahgunaan wewenang, sementara hak masyarakat untuk melakukan upaya hukum terhadap penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum tidak diakomodir oleh KUHAP..
            Kedua, sistem kelembagaan aparat penegak hukum. Kejaksaan bersifat kesatuan. Sehingga jaksa tidak independen (dalam membuat rencana tuntutan dikoreksi oleh jaksa yang lebih tinggi). Kita patut bersyukur akhirnya KPK dan Pengadilan Tipikor masih eksis. Hal tersebut tidaklah cukup. IPK Indonesia memang menurun. KPK sampai saat ini adalah penuntut yang sukses menjebloskan koruptor. Kolaborasi Pengadilan Tipikor dan KPK menjadi harapan publik. Ke depan tuntutan kehadiran KPK perwakilan di daerah patut untuk direalisasikan. Dengan demikian dapat dibandingkan secara lebih jelas kinerja Kejaksaan atau KPK yang lebih baik dalam pemberantasan korupsi. Hal ini dapat menjadi usulan untuk menyatuatapkan pemberantasan korupsi di KPK menjadi rasional. Karena dengan kondisi sekarang, pemberantasan korupsi dilaksanakan dengan “keroyokan” justru menumbuhkan resistensi dan konflik di internal penegak hukum.
            Ketiga, meningkatkan moralitas dari aparat penegak hukum. Proses rekuitmen dan pengawasan merupakan keniscayaan bagi terciptanya penegak hukum yang bermoral baik. Tidak hanya itu, pendidikan tinggi hukum pun harus diarahkan pada terciptanya penegak hukum yang merupakan pembela keadilan bukan penghamba uang.
            Keempat, membuat inovasi pemberantasan korupsi. Sebagai bagian dari negara-negara di dunia yang meratifikasi UNCAC. Ternyata Indonesia masih belum memenuhi beberapa kebijakan progresif untuk pemberantasan korupsi yaitu illicit enrichment, deny acses bagi para koruptor.
            Kelima, meningkatkan kesadaran masyarakat. Lawrence M. Friedman, tak akan optimal perubahan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Sementara itu, Jimly Asshidiqqie menyatakan bahwa hukum harus dipandang sebagai kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional); (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental); dan elemen perlikau para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making); (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating); (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating); (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law sosialization and law education); (e) pengelolaan informasi hukum (law information management) penunjang[4]. .
            Sejalan dengan dua pandangan di atas, selama ini reformasi hukum hanya menitikberatkan pada kepada pembangunan aturan dan institusi. Padahal aspek pemberdayaan dan pembudayaan hukum di masyarakat juga harus menjadi prioritas. Praktek mafia peradilan juga disumbang oleh rendahnya kesadaran masyarakat. Budaya feodal pada masa lampau membuat masyarakat terbiasa membungkuk-bungkuk pada penguasa. Peningkatan kesadaran dapat dilakukan dengan sosialisasi pada pendidikan usia dini, pendampingan dan pelatihan masyarakat untuk mengawasi jalannya peradilan.
            Mafia peradilan harus diberantas. Agar cita negara ini tidak berubah menjadi cita negara mafia. Tentu saja dibutuhkan kerjasama semua pihak. Setiap elemen bangsa ini harus turut ambil bagian dalam upaya pemberantasan mafia peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
1.        Asshiddiqie, Jimly, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis, 2008, Jakarta, Penerbit: Sekertariat Jenderal dan Kepanitian Mahkamah Konstitusi RI
2.        Raharjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Perilaku “Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 167
3.        Akar-akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegakan Hukum), Komisi Hukum Nasional RI, hlm. 41-46
LAMAN SITUS
http://jurnalhukum.blogspot.com/2010/05/quo-vadis-pemberantasan-mafia-hukum.html


[1] Satjipto Raharjo, 2009, Hukum dan Perilaku “Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 167
[3] Akar-akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegakan Hukum), Komisi Hukum Nasional RI, hlm. 41-46
[4] Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis, 2008, Jakarta, Penerbit: Sekertariat Jenderal dan Kepanitian Mahkamah Konstitusi RI, hlm: 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar