Sabtu, 04 Februari 2012

Para Pencari Ilmu (Part-2)

“Kemuliaan ialah membangun umat yang telah binasa, membuka selubung kebodohan mereka, memberi peringatan dan petunjuk (hidayah), menuntut hak yang terampas, mengingatkan akan kemuliaan yang hilang, membangun umat dari tidur dan kelalaian mereka, serta menyatukan suara untuk memperbarui gerak langkah. (Syeikh Muhammad Abduh)

Tulisan ini, penulis buat menjelang keberangkatan penulis menuju lokasi observasi #optimisme hukum. Tulisan ini akan menceritakan kegalauan pada pendidikan khususnya pada kampus. Di negeri ini, ada banyak hal yang tak mampu diurus oleh pemerintah. Pendidikan salah satunya. Gerakan masyarakat terbilang cukup sukses "menampar" pemerintah. Sebut saja Dompet Dhuafa yang menghimpun zakat masyarakat untuk mendirikan sekolah-sekolah pendampingan di pulau-pulau terluar di Indonesia. Indonesia Mengajar mampu menjawab permasalahan ketersediaan tenaga pengajar yang berkualitas di pulau-pulau terpencil. Belum lagi, puluhan yayasan, komunitas yang turut berkontribusi bagi pendidikan. Gerakan masyarakat di bidang pendidikan membuktikan permasalahan pendidikan bukan semata-mata soal dana tetapi lebih pada komitmen untuk berusaha. Pertanyaan besar mengemuka, mengapa para "lulusan terbaik" memilih gerakan masyarakat untuk berkontribusi ketimbang ikut program rekuitmen oleh pemerintah. Jawabannya bisa sangat banyak dan variatif. Bisa jadi karena para kaum muda semakin tidak percaya pada pemerintah?. Atau karena pemerintah belum mampu menajemen kepegawaian tenaga tenaga pendidik.

Dalam lingkup yang lebih kecil, hal serupa pun terjadi. Kampus yang dikelola oleh pemerintah pun semakin "tak berdaya". Tak berdaya pada tantangan akreditasi ISO, punya lulusan instan (cepat lulus, IPK baik). tawaran kerjasama dengan perusahaan ternama, proyek-proyek bernilai ratusan atau milyaran rupiah. Kampus akhirnya "berinovasi". Kuliah, praktikum, pelatihan adalah yang utama Kampus sering lupa bahwa mendidik adalah membebaskan bukan mengekang. Di kelas, tak banyak yang bisa didapat. Bukan rahasia lagi, kualitas pendidik selalu menjadi tanda tanya. Puluhan slide dibacakan kembali oleh sang dosen. Ruang diskusi terbuka amat bergantung pada kualitas personal dosen. Bukan merupakan sistem.

Maka, gerakan mahasiswa menjadi pilihan yang rasional guna memberikan sisi lain soal pendidikan. Gerakan mahasiswa bermanifestasi dalam bentuk lembaga eksekutif mahasiswa, kecintaan pada musik, kepedulian pada alam, semangat menaikan martabat bangsa dengan jaringan internasional, kongkow keilmuan, dan banyak lagi yang lainnya. Pada gerakan mahasiswa, mahasiswa dihargai tiap pendapatnya, dilatih empatinya, diluruskan kecintaanya terhadap ilmu. Sekali lagi, gerakan mahasiswa jenis ini mampu membuktikan kontibusi. Kelompok keilmuan membuktikan tajinya karena sesekali menjadi jawara-jawara di kancah nasional atau internasional. Lembaga eksekutif dan pers mahasiswa paling unggul soal advokasi masyarakat. Mereka mengajarkan soal empati dalam berbagai kegiatan yang dilakukan.

Kini, ketika kampus tak mampu bertanggung jawab atas tugasnya, gerakan harus hidup atas dasar visi dan misi. Kecintaan terhadap ilmu, empati pada masyarakat, kecintaan pada musik, tidak pernah boleh berubah. Tak terasa benih-benih disorientasi mulai menghinggap sejumlah gerakan mahasiswa. Orientasi gerakan disesuaikan dengan standar-standar yang ditetapkan para birokrat. Standar yang tak sesuai dengan semangat gerakan mahasiswa. Tiap gerakan punya karakteristik. Dengan perbedaan banyak masalah bisa coba untuk diselesaikan. Kalau semua gerakan mengerjakan hal yang sama, sulit mengatakan ini adalah sebuah gerakan.

Terakhir, sinergi dibutuhkan, termasuk pada "penguasa". Gerakan masyarakat dan mahasiswa harus mau membagi "kiat sukses" pada"penguasa.  Penguasa pun harus mau membenahi diri. Gerakan harus tetaplah gerakan. Tidak untuk di"adopsi" oleh penguasa.
oleh Laras Susanti pada 9 Oktober 2011 pukul 17:24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar