Sabtu, 04 Februari 2012

Kita Adalah Media

  Pasca reformasi tahun 1998, kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dirasakan semakin demokratis. Hal tersebut ditandai dengan perubahan UUD 1945. Perubahan yang semakin menjamin perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kekuasaan. Perlindungan hak asasi manusia yang paling kentara implementasinya adalah kebebasan dalam berserikat dan berpendapat. Salah satu sarana untuk menyatakan pendapat adalah pers. Mulai medio 1999[3],pers tak perlu takut lagi diberedel. Tak hanya itu, jumlah parpol peserta pemilu pun mencapai 48. Kini, kebebasan tersebut mulai dipertanyakan. Jika dahulu pers tersandera penguasas maka kini pers diindikasikan tersandera oleh kepentingan pemilik modal.
Oligarki dan Independensi Pers
            Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia[4].
            Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Tujuan kemerdekaan pers adalah menegakkan kehidupan keadilan memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa[5]. Dalam kajian teoritis, pers setidaknya punya tiga peranan yakni mengurai ketertutupan hubungan antara negara dengan masyarakat, negara dengan koorporasi, dan koorporasi dengan masyarakat. Dengan fungsi tersebut, pers diharapkan dapat menjadi kran informasi bagi masyarakat. Kemerdekaan tersebut diimplementasikan dengan hak setiap warga negara untuk mendirikan perusahaan pers[6]. Perusahaan harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (UUD, UU Pers). Pemilikan perusahaan pers inilah yang disebut blanket norm. Norma yang belum diatur secara detail. Dampak pengaturan tersebut adalah keberadaan grup atas pemilikan sejumlah pers. Atau layak disebut sebagai oligarki pemilik modal pada pers.
            Oligarki adalah sekelompok orang yang berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya. Studi tentang oligarki tersebut kemudian banyak menghasilkan studi lain yang lebih kontemporer. Hadiz dan Robison (2004) menulis tema oligarki untuk menjelaskan fenomena ekonomi-politik di Indonesia pasca-Soeharto[7]. Teori oligarki digunakan untuk menggambarkan kekuatan-kekuatan yang menjadi lingkar inti kekuasaan di Indonesia, yang mendominasi struktur ekonomi dan struktur politik Indonesia pasca-Orde Baru. (Hadiz dan Robison, 2004). Sedangkan di Australia, oligarki terbentuk dari sebuah aliansi bisnis raksasa yang mendominasi aktivitas perekonomian Rusia[8]
            Kekuasaan tersebut dapat berupa uang, jabatan maupun keturunan. Jeffrey Winters menyebutkan Oligarki telah memenuhi bangsa ini. Oligarki di Indonesia ada sekitar 43,000-0,02%, kekayaan mereka adalah 25% dari GDP. Orang yang paling kaya di Indonesia jauh lebih kaya dibandingkan dengan negara singapura, Thailand, etc. Indonesia konsentrasi kekayaan 3x Thailand, 4x Malaysia dan 25x Singapura[9]. Oligarki tersebar di seluruh lini negeri ini. Tak terkecuali pers.
            Setidaknya ada dua hal yang dapat digunakan untuk menganalisis keberadaan oligarki pemilik modal pada pers. Pertama, jumlah grup pemilik modal. Dengan mudah kita dapat menghitung sebenarnya tak banyak jumlah pers yang berkembang pasca reformasi. Oligarki pemilik modal telah merambah pada media massa. Sebut saja stasiun televisi yang tergabung dalam grup bakrie, media Indonesia maupun trans corp. Kedua, variasi siaran yang diskenariokan. Hal ini merupakan dampak dari faktor pertama. Publik tak lagi heran jika siaran pers justru digunakan untuk mensosialisasikan kepentingan pemiliknya. Contoh konkret, stasiun TV yang tak akan pernah memberitakan tentang lumpur lapindo atau selalu memberitakan perjalanan sebuah ormas. Belum lagi stasiun TV yang senantiasa teguh memberitakan klaim keberhasilan penguasa. Tak hanya stasiun televisi, pun demikian dengan media cetak.
            Uraian tersebut menggambarkan sangat sulit untuk mengatakan bahwa pers telah independen. Secara sederhana pers dapat dinyatakan tidak diintervensinya pers dari kepentingan di luar pers. Publik boleh kecewa. Bahkan sejumlah kalangan melakukan aksi boikot kepada pers. Pers tidak lagi dipandang sebagai kawan masyarakat. Lebih tepat dikatakan sebagai kawan penguasa. Penulis meminjam istilah Alfito Deannova bahwa Cuma dua kata untuk pers diperkosa atau memerkosa. Diperkosa oleh penguasa atau pemodal atau memerkosa masyarakat. Pers tak pernah bebas dari kepentingan. Pers hadir menyuarakan kepentingan. Dukungan akan hadir jika kepentingan yang dimaksud adalah kepetingan masyarakat banyak. Realitanya, kepentingan adalah kepentingan golongan.
Independensi Masyarakat
            Harapan untuk pers yang independen semakin sulit untuk diraih. Dengan kondisi sosio politik yang mengarah pada defisit makna demokrasi. Harapan paling relevan diletakkan pada masyarakat sipil. Masyarakatlah yang harus independen dalam menerima siaran pers. Masyarakat harus kritis dan menguji setiap informasi yang didapatkan. Jika peran penting pers adalah sebagai media informasi maka kini kita lah media. Jejaring sosial di dunia menunjukkan bahwa media kini telah beralih. Manusia menjadi media yang paling cepat dan akurat ketimbang pers. Fenomena twitter dan facebook yang digunakan untuk menggerakan massa di negara-negara timur tengah. Atau komunitas kepedulian pada prita yang menggerakan Indonesia sekitar setahun lalu.
            Salah satu bagian dari elemen masyarakat adalah mahasiswa. Mahasiswa memiliki kelebihan dalam hal kemampuan intektual dan akses terhadap teknologi. Tak dapat dipungkiri bahwa perjalanan bangsa ini tak terlepas dari peran mahasiswa. Kini, dalam kondisi pers yang semakin tak berimbang, mahasiswa harus menjadi solusi. Mahasiswa harus memandang dirinya sebagai media. Arah pergerakan mahasiswa tidak lagi sekedar “membebek” pada media massa. Namun mampu melakukan mengarahkan (framming issue) isu. Sejalan dengan kebutuhan tersebut berkembang pers mahasiswa baik yang mandiri maupun berada di bawah pemerintahan mahasiswa (contoh BEM atau DEMA). Selama ini, media penyampaian informasi dilakukan dengan majalah atau bulletin. Trend zaman telah berubah media adalah kita, Majalah atau bulletin butuh waktu lama untuk dibuat dan diedarkan. Padahal kini dengan jejaring sosial, informasi dapat dipasarkan dengan mudah. Terlebih untuk basis keilmuan yang sangat jarang di blow up oleh media massa. Contoh mudah, gerakan solidaritas melon gajahmada[10] gerakan berbaju hitam setiap kamis (untuk kepedulian atas hutan Indonesia yang rusak), gerakan peduli jajanan pasar, atau gerakan sikat gigi dua kali sehari. Gerakan-gerakan tersebut dapat dipublikasikan melalui media massa. Penjelasan dapat dilakukan dengan diskusi atau seminar. Inovasi harus dilakukan. Sekali lagi karena kita adalah media maka kita yang menentukan.
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
LAMAN SITUS
Robinson, Richard dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004) sebagaimana dikutip dalam http://ibnulkhattab.blogspot.com/2011/01/rise-of-russian-oligarch.html
Fachrurodji, A. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), dalam Ibid.,

LAIN-LAIN

Jeffrey Winters dalam Diskusi Publik bertajuk “Oligarki dan Korupsi: Prespektif Ekonomi-Politik” pada tanggal 15 April 2011 kerjasama antara Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT FH UGM) dengan Fisipol UGM
Bapak Budi Setiadi, S.Si, M.Sc, PhD (dosen Fakultas Biologi UGM) dalam wawancara untuk penelitian Bioteknologi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Bioteknologi Pangan di Indonesia






[1] Terinspirasi dari diskusi tentang Media dan Kebangkitan Bangsa dengan pembicara Alfito Deannova pada temu nasional penerima beasiswa aktivis nusantara (Bakti Nusa) 2011

[2] Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, pernah aktif di kementerian Kastrat BEM KM UGM, sekarang aktif di PuKAT Korupsi FH UGM dan  Komunitas HTN

[3] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

[4] Ketentuan Umum, Pasal 1, Ibid.,

[5] Ketentuan Menimbang., Ibid.,

[6] Pasal 9, Ibid.,

[7] Robinson, Richard dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004) sebagaimana dikutip dalam http://ibnulkhattab.blogspot.com/2011/01/rise-of-russian-oligarch.html

[8] Fachrurodji, A. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), dalam Ibid.,

[9] Jeffrey Winters dalam Diskusi Publik bertajuk “Oligarki dan Korupsi: Prespektif Ekonomi-Politik” pada tanggal 15 April 2011 kerjasama antara Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT FH UGM) dengan Fisipol UGM

[10] Bapak Budi Setiadi, S.Si, M.Sc, PhD (dosen Fakultas Biologi UGM) dalam wawancara untuk penelitian Bioteknologi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Bioteknologi Pangan di Indonesia, menjelaskan soal bioteknologi melon yang garis di tubuh melon membentuk logo UGM (penulis belum mengetahui nama ilmiah melon tersebut)
oleh Laras Susanti pada 29 Mei 2011 pukul 23:27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar